Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Singgung Freeport di Debat Capres, Jokowi Terancam Malu di Depan Prabowo

15 Februari 2019   22:31 Diperbarui: 16 Februari 2019   20:45 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memahami divestasi PT Freeport Indonesia bukan urusan gampang. Banyak irisan peristiwa yang perlu dipelajari lalu dikaitkan dengan peristiwa lainnya. Namun bila dituliskan secara singkat seperti digembar-gemborkan selama ini: Indonesia sukses merebut kembali kekayaan alam setelah sekian lama dikuasai asing. Tetapi betulkah begitu?

Ternyata tidak, pengambilalihan mayoritas saham Freeport (divestasi) diduga kuat masih bermasalah. Celakanya lagi, dugaan adanya maladministrasi divestasi tersebut juga menyeret pejabat di lintas kementerian dan lembaga negara.

Penjelasan gamblang tentang karut-marut divestasi Freeport mengemuka setelah Dr Simon Sembiring yang mantan Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, menerbitkan sebuah buku berjudul: Karut Marut Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport yang Penuh Jebakan" disertai pembahasan serta analisanya secara mendetail.

Dalam bukunya, Simon mengungkap bahwa keberadaan PI (Participacing Interest) sebesar 40% Rio Tinto dengan Freeport Mc Moran (FCX) dalam komposisi saham Freeport Indonesia diduga sarat masalah. Ironisnya, PI Rio Tinto tersebut telah dibayar lunas pada 21 Desember 2018 oleh PT Inalum (Holding BUMN Tambang) sebesar USD 3,5 miliar.

Hal ini didasari oleh surat-menyurat antara Freeport McMoRan dengan Menteri Pertambangan Energi (MPE) No.1047/03/M.SJ/1995 tertanggal 28 Maret 1995, surat nomor 1826/05/M.SJ/1996 tanggal 29 April 1996, serta surat Penegasan Menteri Keuangan No.S-176/ MK.04/1996 tertanggal 1 April 1996.

Bahkan secara tegas kedua surat menteri tersebut mengatakan PI Rio Tinto di Blok B sebagai pengembangan, bukan Blok A yang sudah dan sedang berproduksi.

Kontrak tersebut pun hanya sampai 30 Desember tahun 2021 sesuai Kontrak Karya (KK) 1991. Namun seperti diketahui, pemberian opsi saham kepada pihak lainnya melewati batas waktu kontrak yang sudah disepakati, yakni hingga tahun 2041, sehingga dapat diklasifikasikan maladministrasi dan merupakan sebagai tindakan ilegal serta berpotensi mengandung unsur perbuatan pidana.

Di dalam KK 1991 tercantum jelas data koordinat batas Blok A dengan Blok B merupakan wilayah pertambangan yang berbeda. Oleh sebab itu, valuasi PI Rio yang telah dilakukan oleh konsultan yang telah ditunjuk oleh PT Inalum perlu diuji kebenaran dan akurasinya. Dengan memperhitungkan masa kontrak hingga 2041 telah menyebabkan harga/evaluasi saham/PI Rio Tinto menjadi jauh lebih tinggi dari yang seharusnya.

Jika ditinjau dari perspektif KK 1991, ternyata surat menyurat antara Menteri Pertambangan dengan FCX mengandung ketidaklaziman dan melanggar Pasal 28 ayat 2 KK.

Hal tersebut terungkap dari surat IB Sujana menggunakan kode "M.SJ" dan surat tersebut tidak ternyata tidak ada tembusannya kepada Dirjen Pertambangan Umum. Surat berkode "M.SJ" adalah surat yang dikeluarkan oleh Sekjen Kementerian Pertambangan dan Energi, bukan surat dari Direktorat Jenderal Pertambangan Umum yang berkode M.DPJ.

Dalam debat kedua capres nanti, meski masih cukup rumit khususnya kalangan awam, capres Prabowo Subianto kemungkinan besar akan menjadikan isu divestasi Freeport ini sebagai salah satu amunisi menyerang capres Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun