Mumpung sudah masuk musim caleg, saya mau membagikan sedikit cerita tentang seberapa besar peluang kemenangan seorang caleg. Jangan bertanya soal akurasi karena ini hanya sebuah cerita dan bukan analisis berdasarkan data ilmiah. Kalaupun hasil akhir dari cerita ini nanti melenceng, sepenuhnya diserahkan kepada pembaca untuk menarik kesimpulan.
Cerita ini hanya terjadi di seluruh wilayah Tapanuli, Provinsi Sumut. Tapanuli yang dimaksud di sini adalah 7 kabupaten di sekitar Danau Toba: Taput, Humbahas, Tobasa, Samosir, Simalungun, Dairi, dan Karo. Masih ada tambahan satu lagi, nonpemilik Danau Toba, yakni Kotamadya Pematangsiantar yang terkenal dengan sebutan Siantar Man; orang tangguh dan siap tempur.
Di 7 kabupaten plus Siantar itu, ada berkah tersendiri bagi caleg yang berasal dari parpol pengusung Jokowi di Pemilu 2019 nanti. Yakni tak perlu 'berdarah-darah' seperti caleg yang berasal dari parpol pengusung Prabowo. Berjuang sih tetap dibutuhkan tetapi popularitas Jokowi di daerah itu dipastikan mendongkrak perolehan suara caleg bersangkutan.
Meroketnya suara Jokowi di wilayah itu sudah terbukti sejak Pemilu 2014 lalu, kemudian diikuti Pilgub Sumut 2018. Tapanuli dan Siantar merupakan basis suara PDIP dan Jokowi, menjadi 'kandang banteng' mengutip istilah yang berlaku di Jawa Tengah. Lalu kenapa pada Pemilu 2019 nanti caleg parpol pengusung Jokowi akan lebih mudah meraup suara ketimbang caleg parpol pengusung Prabowo?
Jawabannya karena Pemilu 2019 berbeda dengan Pemilu 2014. Jika Pemilu 2014 berlangsung dua kali yakni pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres), di 2019 hanya akan berlangsung satu kali. Pileg dan Pilpres serentak dilaksanakan di hari yang sama.
Pada Pemilu 2014, parpol baru sibuk menggalang koalisi capres-cawapres setelah Pileg digelar. Sedangkan Pemilu 2019, capres-cawapres sudah ditentukan lebih dahulu sebelum Pileg berlangsung. Maka pada Pemilu 2019 akan terdapat lima surat suara yang terdiri dari DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD, dan Presiden. Bukan empat surat suara seperti Pemilu 2014.
Perbedaan itulah yang akhirnya mendatangkan berkah bagi caleg pengusung Jokowi. Sebaliknya, perubahan dari dua kali menjadi hanya satu kali pemilihan itu merupakan ujian berat bagi caleg parpol pengusung Prabowo. Sebagai contoh, caleg Golkar pada Pemilu 2014 tidak mengalami hambatan saat berkampanye di Pileg, meskipun capresnya pada Pilpres adalah Prabowo. Itu karena penentuan siapa capres Golkar baru dilakukan setelah Pileg usai.
Situasi seperti itu tidak akan terjadi pada Pemilu 2019. Sejak saat ini, caleg parpol pengusung masing-masing capres sudah wajib mengkampanyekan dirinya sendiri plus capres yang dijagokan parpolnya. Di sinilah tantangan terberat bagi mereka para caleg pengusung Prabowo. Seorang caleg mungkin saja sangat tinggi popularitasnya tetapi ketika ia mengkampanyekan Prabowo, massa pemilih akan rawan meninggalkannya.
Lalu apa yang harus dilakukan? Daripada tidak terpilih, para caleg itu nantinya sangat mungkin menyimpang dari garis partai, yakni justru ikut mengkampanyekan Jokowi meski ia berasal dari parpol pengusung Prabowo. Masalahnya, kalau aksi itu diketahui partainya, sanksi berat sudah menanti. Serba salah, pokoknya.
Di sisi lain, caleg parpol pengusung Jokowi jauh lebih mudah merebut suara karena adanya persamaan calon presiden. Caleg PKB, misalnya, tidak perlu khawatir diserang anti Prabowo karena PKB adalah salah satu parpol pengusung Jokowi. Itu berarti caleg PKB menjadi lebih nyaman dibandingkan caleg Demokrat yang menjagokan Prabowo.
Namun begitu, di antara parpol pengusung capres, caleg PDIP dan caleg Gerindra menjadi pihak yang paling 'menang banyak' dan pihak 'berdarah-darah'. Â Itu karena Jokowi dan Prabowo merupakan representasi langsung kedua parpol itu. Caleg PDIP akan sangat diuntungkan oleh sosok Jokowi, sementara caleg Gerindra mau tidak mau wajib berjuang lebih keras lagi untuk meyakinkan Prabowo adalah capres yang tepat menggantikan Jokowi.