Manuver demi manuver terus dilakukan elit politik. Tidak peduli mana kawan dan mana lawan, yang penting hasrat berkuasa bisa tersalurkan. Fenomena itulah yang kini sedang heboh ketika Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) M Zainul Majdi mendadak putar haluan. Politisi Demokrat ini menyatakan dukungannya kepada Jokowi pada Pilpres 2019 nanti.
TGB menyebut kepemimpinan Jokowi tak cukup hanya lima tahun. Dengan kata lain, TGB masih berharap agar Jokowi memimpin lima tahun berikutnya atau hingga 2024 mendatang.Â
Pernyataan TGB ini memang mengejutkan mengingat pada Pilpres 2014 lalu, TGB mendukung penuh Prabowo Subianto. Terbukti, dukungan TGB itu mengantar Prabowo sebagai pemenang Pilpres di NTB mengalahkan suara Jokowi.
Kemudian, sebagai politisi Demokrat, TGB seharusnya menunggu sikap partainya terlebih dahulu sebelum mengumbar dukungan kepada kandidat capres. Kenapa TGB nekat melangkahi SBY sebagai Ketum Demokrat? Tentu ada sesuatu di balik itu.
TGB yang belakangan namanya selalu masuk dalam nominasi kandidat cawapres berbagai lembaga survei, kemudian harus rela bila dikaitkan bahwa ia sedang mencoba jalan memutar demi meraih simpati Jokowi. Harapannya, Jokowi akan menggandeng TGB sebagai cawapres. Akan tetapi, semudah itukah? Tentu tidak.
Cak Imin saja yang seorang Ketum PKB hingga kini masih was-was karena nasibnya selalu digantung Jokowi. Padahal Cak Imin sudah sejak lama mengkampanyekan dirinya sebagai kandidat cawapres yang mesti digandeng Jokowi. Bila tidak, Cak Imin memastikan Jokowi bakal kalah.
Belum lagi Airlangga, Ketum Golkar yang kurang-lebih memiliki kewenangan dan kekuatan massa seperti PKB. Lalu masih ada Romahurmuzy dari PPP, Surya Paloh dari NasDem, maupun Wiranto dari Hanura. Mereka adalah deretan tokoh parpol yang memiliki kewenangan menyerahkan tiket pencapresan.
Sementara TGB tidak mempunyai kewenangan itu. Bahkan di internal Demokrat sendiri, seperti pengakuan Kepala Divisi Advokasi Hukum Demokrat, Ferdinand Hutahaean, dukungan TGB kepada Jokowi merupakan pendapat pribadi yang sama sekali tidak berhubungan dengan partai. Ferdinand bahkan menduga TGB saat ini sedang "oleng" di Demokrat.
Kenyataan inilah yang membuat TGB menjadi sangat sulit untuk bersaing dengan kandidat cawapres lainnya. TGB bisa dikatakan saat ini sudah tidak lagi berada di Demokrat, alias bertarung sendirian tanpa sokongan parpol manapun. Sederhananya, TGB akan dengan mudah dikalahkan Cak Imin yang jelas-jelas mempunyai modal kuat sebagai Ketum PKB.
Jika demikian, TGB menjadi tidak ada ubahnya seperti Gatot Nurmantyo yang awalnya sangat moncer sebagai kandidat capres tetapi perlahan meredup oleh minimnya dukungan parpol. Bagaimanapun, menjadi cawapres Jokowi tak cukup hanya bermodalkan popularitas semata. Kandidat cawapres Jokowi mau tidak mau wajib disokong kekuatan politik yang betul-betul nyata guna meyakinkan elit-elit parpol pendukung Jokowi.
Kesimpulannya, peluang TGB menjadi cawapres Jokowi bakal tertutup rapat.