Di Bawah Temaram Lampu Teplok
Angin malam mulai menusuk tulang, suara air terjun terdengar sayup-sayup di ujung desa. Entah sekarang pukul berapa, tetapi anak-anak Pagar Batu terus berkutat membaca buku pelajaran sekolah. Sorot mata mereka terpaksa lebih awas sembari menghalau rasa kantuk di bawah sinar temaram lampu teplok. "Ayo belajar biar nasib kalian tidak seperti kami," begitulah penggalan kalimat motivasi yang selalu kompak diucapkan orangtua kepada anaknya yang sedang bersekolah.
Lampu teplok berbahan bakar minyak tanah dengan penerangan seadanya itu merupakan senjata utama "Madden Cs" agar bisa belajar di malam hari. Kala itu, minyak tanah masih sangat langka. Kalaupun ada, harganya lumayan mahal. Semua lagi-lagi karena harus tergantung pada transportasi menggunakan tenaga kuda. Pamor minyak tanah bersaing ketat dengan beras, gula, serta garam yang merupakan komoditas andalan masyarakat pedesaan.
Pelengkapnya adalah buku tulis, pensil satu buah, dan beberapa buku pelajaran sekolah yang sedikit lusuh. Maklum, buku pelajaran itu adalah warisan dari kakak kelas. Digunakan turun-temurun alih-alih membelikan sebuah buku baru. Sementara pensil yang hanya satu-satunya wajib dijaga ketat. Bila pensin sampai hilang, bisa dipastikan bakal berdampak sistemik. Minimal diganjar kartu kuning oleh orangtua.
Takdir di Atas Tandu
Seorang ibu muda meringis kesakitan saat hari beranjak pagi. Suaminya pontang-panting, panik hingga hanya mampu berteriak meminta pertolongan. Awalnya, hanya tetangga saja yang ikut terjaga mendengar jeritan histeris itu, kemudian disusul tak berapa lama oleh seisi kampung Pagar Batu. Ibu muda itu rupanya hendak melahirkan. Para ibu-ibu mencoba melakukan pertolongan seadanya. Selebihnya, hanya berpasrah pada takdir.
Kira-kira seperti itulah kondisi medis di Pagar Batu. Terlalu jauh berharap kehadiran dokter, sebab bidan saja belum punya. Lalu, bagaimana kalau tiba-tiba ada warga yang mendadak sakit dan membutuhkan pertolongan secepatnya? "Mau tidak mau harus ditandu hingga ke Parsoburan," ungkap ibunda Madden, menggambarkan betapa takdir seringkali mampir di atas tandu.
Waktu tempuh mencapai 6 jam dengan berjalan kaki dari Pagar Batu menuju Parsoburan, sungguh teramat lama bagi yang membutuhkan pertolongan medis. Tetapi, apa boleh buat, situasinya memang sudah seperti itu. Tidak ada lagi pilihan kecuali sesegera mungkin merakit tandu tradisional menggunakan sarung dan dua bilah kayu. Di atas tandu itu, hanya harapan dan doa saja yang tersisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H