Manakala tersandung kasus hukum atau politik, kata sakti yang selalu digunakan politisi kita adalah "dizalimi". Tidak peduli partai lama atau partai baru, politisi gaek atau politisi baru muncul. Seluruhya kompak menggunakan kata itu. Seolah menjadi tren dalam perpolitikan di Tanah Air.
Jika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), zalim mengandung makna bengis; tidak menaruh rasa kasihan; tidak adil; kejam. Dengan demikian, dizalimi mengandung makna tidak diperlakukan adil, menerima perlakuan kejam, atau tidak memperoleh rasa kasihan.
Seperti kita tahu, kata dizalimi pertama sekali populer ketika SBY berseberangan dengan Megawati. Kala itu SBY adalah Menkopolkam di bawah Kabinet Gotong Royong era Megawati. SBY merasa tidak lagi dianggap sebagai pembantu presiden oleh Mega lantaran kerap tidak diundang dalam rapat-rapat kabinet. Oleh perlakuan itu, SBY merasa dizalimi. Tetapi siapa sangka, SBY yang melontarkan merasa dizalimi itu akhirnya malah berbuah manis. SBY mendapat simpati yang sangat luas dari rakyat Indonesia hingga akhirnya menumbangkan Mega di Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 silam.
Barangkali pengalaman SBY itulah yang menjadi pemantik kenapa kata dizalimi menjadi sangat populer di kalangan politisi kita. Sejak saat itu, setiap ada kasus yang menimpa politisi maupun parpol seperti kasus korupsi dan sengketa politik, pihak yang dirugikan selalu merasa dizalimi. Sedangkan pihak yang dituduh menzalimi tergantung kasus pokoknya. Misalnya, dizalimi penguasa atau dizalimi penegak hukum. Rasanya, seluruh parpol sudah pernah melontarkan bahwa pihaknya sedang dizalimi dengan segala macam latar belakang persoalannya. Dengan klaim merasa dizalimi, ada harapan akan mendapat simpati dari masyarakat luas.
Terbaru, penggunaan kata dizalimi ini pun muncul ketika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dilaporkan Bawaslu ke Bareskrim Polri atas dugaan tindak pidana pemilu. Adapun terlapornya adalah Sekjen PSI Raja Juli Antoni dan Wasekjen PSI Chandra Wiguna. Tak tanggung-tanggung, Bawaslu meminta kepolisian untuk segera menetapkan keduanya sebagai tersangka dalam waktu 14 hari sejak dilaporkan.
Bawaslu, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (17/5/2018), menyatakan penetapan tersangka terhadap Raja dan Chandra selambat-lambatnya 14 hari sejak dilaporkan merupakan amanat UU Pemilu. Dalam pasal 492 UU Pemilu disebutkan bahwa pihak yang melanggar kampanye di luar jadwal dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun dan denda Rp12 juta.
Atas laporan ini, Sekjen PSI Raja Juli Antoni merasa ada yang janggal. Sebab menurut dia, ada juga partai selain PSI yang beriklan di TV dan menyampaikan citra diri, tetapi sama sekali tidak digubris Bawaslu. Raja Juli kemudian berasumsi hal itu terjadi lantaran PSI belum mempunyai kekuatan politik di parlemen. "Kami merasa dizalimi, kami akan lakukan perlawanan sebaik baiknya saya kira demikian," katanya seperti diwartakan berbagai media massa, Kamis (17/5/2018).
Sebelumnya, Bawaslu menilai iklan yang dipasang PSI di media cetak Jawa Pos pada 23 April 2018 telah memuat kampanye dini di luar jadwal yang sudah ditentukan oleh penyelenggara pemilu. Setelah melakukan penyelidikan, Bawaslu menilai Raja Juli Antoni dan Chandra Wiguna adalah dua pengurus PSI yang paling bertanggung jawab atas pemasangan iklan tersebut.
Bagi Raja, ini merupakan kedua kalinya dilaporkan ke Bareskrim Polri. Pertama, saat ia terlibat "perang medsos" dengan Waketum Gerindra, Fadli Zon, Maret 2018 lalu. Atas perseteruan itu, Fadli Zon resmi melaporkan Raja Juli karena tidak terima dengan tuduhan "pembuat hoaks". Meski begitu, hingga kini belum ada kelanjutan dari laporan Fadli tersebut. Namun yang jelas, kata dizalimi kini kembali bangun dari tidurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H