Selasa (24/4/2018) siang, saat asyik menyeruput kopi hitam bergelas bekas air mineral di emperan kaki lima di pinggiran Jakarta, saya mendapat sebuah tautan artikel Kompasiana yang dikirimkan seorang saudara dari belahan Jakarta Utara. Isi artikel itu sangat aktual dan menarik karena terkait gonjang-ganjing penggantian Dirut PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik.
Judul artikel itu pun cukup menohok: Ari Soemarno di Balik Pencopotan Dwi Sutjipto dan Elia Massa Manik. Sebuah judul yang tendensius dan cenderung menghakimi. Selengkapnya klik di SINI
Hebatnya lagi, artikel itu langsung dilabeli "Artikel Utama" oleh Admin Kompasiana. Saya lalu membaca dengan serius uraian yang dipaparkan Kompasianer yang baru mencetak satu-satunya artikel itu. "Hebat juga kawan ini, baru nulis satu artikel langsung dapat Artikel Utama pula," batinku diselingi gerimis kecil yang jatuh dari atas pohon lumayan rindang.
Bukan apa-apa, ulasan artikel itu cukup menarik dan mampu mengaitkan satu peristiwa ke peristiwa lain dengan cukup rapi sehingga membuat larut pembaca awam. Cerita itu tuntas membahas tentang sepak terjang Ari Soemarno di Pertamina. Tak lupa, bumbu politik dimasukkan dengan mengaitkan kedekatan Ari Soemarno dengan SBY dan JK. Sementara adiknya, Rini Soemarno yang saat ini menjabat Menteri BUMN disebut-sebut sebagai kaki tangan untuk memuluskan bisnis minyak sang kakak.
Pembaca pun digiring pada logika tali kekerabatan antara Ari dan Rini yang bersepakat melakukan KKN. Ari pun diletakkan sebagai god father yang mampu mengatur alur bisnis Pertamina meski berada di luar arena kekuasaan. Jika Dirut Pertamina seperti Dwi Soetjipto dan Elia Massa Manik tidak bisa dikendalikan, Ari melalui Rini akan mencopotnya. Begitulah logika sederhananya.
Dugaan itu sah-sah saja asalkan didukung data dan fakta yang valid. Sayangnya, artikel tersebut sama sekali tidak mempunyai sumber yang jelas. Hanya didasari oleh analisa yang cenderung mengarah ke fitnah. Hanya berisikan kisah miring tanpa ada komentar penyeimbang dari pihak Ari maupun Rini.
Namun anehnya lagi, artikel itu tetap bertengger di Kompasiana. Tidak seperti biasanya, Admin Kompasiana akan "membuldoser" setiap artikel yang dianggap kurang memenuhi unsur sebuah artikel yang layak ditayangkan. Jika diklik, maka yang muncul adalah "krik-krik" tanda artikel telah dihapus. Salah satu contohnya adalah ketika kasus "Jilbab Hitam" yang pernah mengisi ruang Kompasiana, beberapa waktu lalu.
Pertanyaannya, apakah Kompasiana sekarang sudah mengubah kebijakannya? Kalau memang sudah, tidak apa-apa juga. Toh, kebenaran akan menemui jalannya sendiri walau dihalangi dengan cara apapun. Begitu kata orang-orang bijak. Bukan kata saya.
Tak terasa, saya harus melanjutkan perjalanan siang itu. Menembus belantara jalanan menjelang sore.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H