Gerimis kecil menyapa langit Ciputat, Tangerang Selatan. Sebuah mobil berwarna biru tua melaju dari sebuah rumah bertingkat bercat kuning keemasan. Tak terasa, berpenumpang tujuh orang laki-laki dewasa itu akhirnya tiba di pintu tol Jakarta-Merak. Wuis...tancap gas.
Sudah menjelang sore saat itu, saat saya dan enam orang teman sekampung memasuki pelabuhan Merak, Banten. Seperti biasa, kami mengisi ritual antri masuk ferry yang sekira satu jam dengan berbelanja ala kadarnya khas laki-laki. Termasuk menyantap mie dalam kemasan yang entah kenapa selalu laris di setiap pelabuhan. Setidaknya, itu menurut pengamatan saya.
Tiket menyeberang Merak-Bakauheni sudah di tangan, saatnya mobil perlahan menyelinap di lambung ferry. Kami, meski semua laki-laki, tentu tak sanggup bertahan di lambung ferry dengan hawa panas yang cukup menyesakkan itu. Lagipula, berdiam di dalam mobil meski berteman musik Batak bernada tenor plus sejuknya hembusan AC selama dua jam perjalanan, tentu bukan pilihan. Lebih baik menuju dek kapal, memandang bebas lautan Selat Sunda yang cukup tenang.
Kami bercengkerama diselingi rasa takjub terhadap anak-anak penangkap uang koin yang lincah berenang di dermaga, persis di bagian buritan ferry. Luar biasa keahlian berenang mereka. Aksi tangkap koin, kendati berbahaya bagi perenang bocah itu, ternyata cukup menghibur para penumpang sebelum berlayar melintasi Selat Sunda.
Atraksi anak-anak itu cukup menarik dengan membiarkan terlebih dahulu uang koin yang dilemparkan penumpang tenggelam ke dalam air laut. Namun dengan cepat, anak-anak perenang itu akan menyelam hingga menemukan uang koin, kemudian dengan cepat muncul kembali. Sebagai bukti sukses menemukan uang koin itu, anak-anak perenang itu biasanya akan menunjukkan "hasil tangkapannya" ke penumpang di atas ferry, sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya sebagai tempat "penyimpanan" sementara. Betul-betul luar biasa.
Hari sudah gelap ketika kami berlabuh di Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Itu tandanya kami telah berpindah pulau, dari Jawa ke Sumatera. Samar-samar, usai kembali menaiki mobil berpelat Jakarta itu, kami melihat beberapa pernak-pernik Natal dan Tahun Baru di pinggir jalan. Juga sekelompok orang yang berpakaian khas Natal. "Bah, Selamat Natal," kami bersalaman dengan senyum dan tawa.
Malam itu, Jumat, 24 Desember 2004, kami merayakan Natal khas musafir di perjalanan pulang ke kampung halaman. Selanjutnya, perjalanan darat Jakarta-Parsoburan itu pun diisi dengan aksi perdebatan yang tak pernah berujung. Kami memang sengaja melakukan "debat mobil" itu guna mengusir rasa kantuk.
Tak ada jadwal khusus tentang giliran siapa yang menyetir. Kecuali saat memasuki Kelok Sembilan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Untuk urusan ini, kami sepakat memasrahkan nasib kami kepada seorang rekan yang kebetulan sudah menyandang status supir senior. Dasar supir Medan, ia melibas Kelok Sembilan dengan entengnya. Momen uji nyali itu persis di malam berikutnya, Sabtu, 25 Desember 2004.
Melewati Padang menjelang pagi, Minggu, 26 Desember 2004, kami tiba di Padang Sidempuan, wilayah yang sudah masuk dalam Provinsi Sumatera Utara. Tiba-tiba, "Ada gempa ya," kami kompak berseru setelah mobil terasa bergoyang. Refleks, supir mengerem mendadak. Buru-buru, kami memilih keluar dari mobil dan memantau situasi di pinggir jalan. Menunggu cukup lama sebelum melanjutkan perjalanan. Sudah yakin, mobil kembali melaju.
Belum ada informasi apapun yang kami peroleh. Apalagi, masyarakat di sekitar Padang Sidempuan hanya terlihat berkerumun saja di halaman rumah seusai merasakan gempa. Tidak ada kepanikan luar biasa yang terlihat di wajah mereka. Padahal, di ujung Sumatera, Aceh, tragedi Tsunami ternyata dengan ganasnya baru saja merenggut kebahagiaan masyarakat di sana. Sore, 26 Desember 2004, setelah tiba dengan selamat di kampung halaman, kami serentak menyaksikan tayangan televisi tentang tsunami yang sangat mengerikan itu.
Bahkan, itulah pertama kalinya saya mendengar istilah tsunami. Sebuah gulungan ombak besar yang menghantam daratan tanpa ampun. Saya sama sekali tak menyangka gempa di Padang Sidempuan, 13 tahun lalu itu ternyata menimbulkan korban jiwa hingga puluhan ribu orang di bumi Serambi Mekah.