Sebuah surat berperangko Rp 6000, baru saja diantarkan Pak Pos ke rumah mungil itu. Seorang kakek dengan lima cucu, ingin buru-buru membukanya. Tapi ia lebih dulu melakukan ritual yang sudah turun-temurun sejak lama: menerawang surat berbungkus amplop putih itu. Kakek itu rupanya sudah mafhum kalau surat itu sudah pasti bernada sama seperti tahun lalu.Â
Sekadar menanyakan kabar sekaligus memberitahu kalau anaknya di tanah rantau juga dalam keadaan sehat. Sementara bagian terpentingnya, adalah "selipan" di antara kertas berwarna putih itu. "Mantap, ternyata ada lembaran rupiah," si kakek sumringah.
Kisah di atas bukan ilustrasi belaka tetapi memang kenyataan yang sebenar-benarnya. Kantor Pos, selain digunakan sebagai media pengiriman uang dengan fasilitas Wesel, malah lebih akrab digunakan sebagai media pengiriman uang melalui surat biasa. Pak Pos akan semakin rajin berkeliling kampung ketika momen Natal dan Tahun Baru sudah menjelang tiba.
Alasannya sederhana, tidak ada ruang lebar untuk bercerita panjang tentang kehidupan di tanah rantau melalui Wesel. Paling hanya empat-lima kalimat saja. Berbeda dengan surat yang memungkinkan untuk menampung kerinduan maupun 'curhat' para anak rantau. Sementara bagi penerima surat, bukan main rasanya saat menyobek amplop berisi lembaran rupiah itu. Ada sensasi yang berbeda hadir di sana.
Sebaliknya, para orangtua juga melakukan hal serupa ketika anak-anaknya sedang bersekolah di luar kampung seperti Siantar atau Medan. Uang bulanan anak sekolah sudah pasti dititipkan kepada supir angkutan umum yang melayani rute kampung-kota. Menariknya, uang titipan dalam amplop itu selalu sampai di tangan yang tepat. Tidak pernah nyasar atau malah dibawa kabur sang supir.Â
Maklum, seisi kampung masih saling mengenal sehingga kekerabatan masih terjaga dengan apik. Tak seperti di kota, yang tetangga sebelah rumah saja belum tentu saling mengenal.
Tetapi itu dulu, sebelum Bank Rakyat Indonesia (BRI) membuka kantor cabang di kampung kami. Oh ya, kampung kami bernama Parsoburan, ibukota Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Tobasa, Provinsi Sumut. Dari Medan, perjalanan darat bisa ditempuh selama 6-7 jam. Menyusuri Danau Toba kemudian berbelok ke arah timur, lalu menanjak lumayan ekstrem.Â
Singkatnya, kampung kami cukup terpencil, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Sementara sumber penghasilan utama masyarakatnya adalah bertani padi dan kopi.
Jika tak salah mengingat, sepak terjang BRI di kampung dimulai sejak 1997 silam dengan membuka kantor ala kadarnya di rumah penduduk. Kebetulan, saya masih mempunyai hubungan keluarga yang sangat dekat dengan pemilik rumah penduduk yang disewa BRI. Slogan "Melayani Setulus Hati" pun terpampang jelas di sebuah plang yang ditancapkan di ujung halaman rumah, persis di pinggir jalan raya.
Awalnya, BRI itu hanya beroperasi sekali seminggu saja yakni setiap Selasa, saat hari pekan (onan) tiba. Hari pekan hanya berlangsung sekali seminggu, tempat para pedagang dan pembeli bertemu di sebuah pasar yang kemudian disebut dengan istilah onan. Namun, BRI kala itu, hanya melayani para PNS terutama guru-guru yang ingin menarik atau menyimpan uang. Praktis, BRI belum melayani penduduk yang mayoritas berprofesi petani.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 2006, BRI sudah berpindah kantor ke sebuah ruko yang berada di kawasan Kantor Camat. Kini kantornya lebih megah, berdinding beton dan dilengkapi pintu kaca yang mengkilap. Sebuah pemandangan yang teramat jarang ditemukan di sebuah kampung terpencil. BRI pun mulai melebarkan sayapnya, tak lagi hanya melayani nasabah PNS tetapi juga memberikan kesempatan kepada para petani yang membutuhkan pinjaman dana.