Malam belum larut diiringi gerimis kecil di kaki Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Suhu udara saat itu sekitar 28 derajat celcius. Mulai terasa dingin meski belum menusuk tulang. Lampu berwarna putih masih tertangkap mata menghiasi pemukiman penduduk yang hampir merata di sekujur kaki Gunung Salak. Tapi saya tak mendengar suara-suara burung atau serangga malam.
Malam itu mataku terbelalak seolah tak percaya menyaksikan apa yang sedang terjadi. Betul-betul tak terduga. Ada apa gerangan? Tak lain lantaran sekumpulan anak muda pria dan wanita berusia antara 20-30 tahun mengisi malam itu dengan gempita. Bibir mereka tak berhenti menghayati untaian yang sama sekali belum pernah saya dengar. Saya pun merasa terasing di antara sekumpulan manusia sebaya.
Malam itu membuat saya kembali tersadar. Rupanya saya sudah tua. Hehehe. Ceritanya bermula di dalam sebuah aula berukuran seukuran lapangan sepakbola, tempat saya dan mereka berkumpul. Kegiatan malam itu memang bertema hiburan, yang dipersembahkan sebuah perusahaan BUMN dengan mengajak serta insan media dari Jakarta. Tetapi pemilik malam itu sesungguhnya adalah mereka, generasi 90-an.
Hiburan malam itu, ternyata menampilkan sebuah band musik asal Jakarta, yang celakanya sama sekali tidak saya kenal. Asli seratus persen belum pernah mendengar nama band musik itu. Maka jangan tanya siapa nama vokalis, basis, gitaris, ataupun keybordis-nya. Mendengar salah satu lagunya saja belum pernah.
Bila tak salah mengingat, lagu pertama yang dibawakan band dengan vokalis pria dan wanita itu adalah lagu berlirik bahasa Inggris. Saya pun kembali mengecek run down acara, siapakah gerangan band yang piawai memainkan aliran musik jazz itu? Maliq & D'Essentials, itulah nama yang tertera di run down acara.
Selebihnya, saya tidak lagi tertarik untuk mencari tahu lebih jauh siapa mereka. Saya justru lebih tertarik mengamati anak-anak muda itu yang bahkan mampu menghafal lirik-lirik lagu mereka. Luar biasa. Suasana semakin gempita ketika kedua vokalis berbaur dengan penonton, menghampiri satu demi satu sembari menyorongkan pelantam suara (mic) kepada hampir seluruh anak muda itu. Mereka pun akhirnya menyanyi bersama. Duhai, nikmatnya.
Beruntung, saya tak sendiri malam itu. Sejumlah rekan-rekan yang seumuran atau senior yang lebih tua, mengaku hal serupa. Mereka ikut duduk manis menyaksikan pemandangan yang unik itu. Ya, bagi kami itu memang unik karena sama sekali tak menyangka sambutan luar biasa dari penonton muda itu.
Bahkan, bila boleh menebak, kedua vokalis dengan busana merah-biru tua itu, juga tak menyangka kalau lagu-lagu mereka tenyata banyak penggemarnya. Dan, sambutan luar biasa sedari awal penampilan itu pulalah yang membuat kedua vokalis dan grup pendukungnya semakin bersemangat. Maka tuntaslah kira-kira 12 lagu di malam itu, walau di lagu kelima saya mulai menggeser posisi ke pintu keluar.
Musik masih terdengar jelas dari dalam ruangan, saat saya menatap gunung Salak yang kian tertutup kabut malam. Ah, rupanya saya sudah tua. Atau hanya berbeda selera dengan anak-anak muda itu? Yang jelas, pemilik malam itu adalah mereka. Bukan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H