"Orang Medan ya!" atau "Asli Medan itu!"
Begitulah dua kalimat singkat yang sering dilekatkan warga di luar masyarakat Sumatera Utara (Sumut) kepada perantau yang berasal Sumut. Entah kapan itu dimulai, tetapi melekatkan orang Medan adalah orang Batak dan orang Batak merupakan orang Medan sudah lama terjadi. Padahal, penduduk asli Medan, Ibu Kota Sumut bukanlah Batak, tetapi Melayu.
Persepsi lain yang sudah melekat dengan orang Medan adalah bahwa ia beragama Kristen (please jangan disangkutkan dengan isu SARA). Padahal faktanya, mayoritas penduduk di Medan adalah beragama Islam. Bahkan, secara keseluruhan, masyarakat Sumut mayoritas adalah beragama Islam. Namun yang sering terjadi, orang Medan selalu diidentikkan beragama Kristen.
Jika dirunut dari sisi historis hingga terbentuknya persepsi tersebut, maka akan ditemukan benang merah yang menjadi penyebab utamanya. Yakni karena orang Batak (Toba) yang memang mayoritas Kristen, sejak lama dan secara masif sudah menyebar ke seluruh Nusantara, khususnya Jakarta dan sekitarnya. Nah, agar lebih memudahkan pengenalan diri dengan lingkungan barunya, maka dipilihlah kata Medan sebagai representasi masyarakat Sumut.
Ilustrasi sederhananya kira-kira begini:
"Batak itu di mana ya?"
"Di Medan, Mas"
"Oh, orang Medan toh."
Maka terciptalah pemahaman baru "Batak adalah orang Medan dan orang Medan adalah Batak."
Padahal sesungguhnya, Sumut khususnya Ibu Kota Medan dihuni banyak suku. Selain Batak dan Melayu, masih ada Jawa, Aceh, Minang, Tionghoa, hingga keturunan India. Di luar itu masih ada suku lain, dan inilah yang akan saya bahas secara khusus yakni Karo dan Mandailing.
Baiklah, agar lebih fokus, pembahasan mengenai suku Karo kita lewatkan saja dulu. Namun yang jelas, substansinya sama yakni bahwa Karo dan Mandailing sudah sejak lama mengikrarkan diri bukanlah bagian dari suku Batak. Bagi mereka, tidak ada Suku Batak Karo atau Suku Batak Mandailing. Yang ada, Batak, Karo, dan Mandailing. Jangan dikait-kaitkan dengan Batak.