Hari mulai merambat malam di pinggiran Jalan Raya Bogor-Jakarta yang berangsur sepi lalu-lalang kendaraan. Di kios berukuran 5 x 3 meter yang terletak di sisi kiri perempatan jalan, satu unit ponsel pintar alias smartphone terlihat di "meja bedah" yang terbuat dari kayu beralaskan kaca. Smartphone seharga Rp 3 juta itu tinggal menunggu giliran. Lampu sorot, korek kuping, sikat gigi, dan sedikit bensin, berjejer rapi di atas meja kaca. Kok ada korek kuping? "Ya begitulah, smartphone yang mengalami kerusakan, ada kalanya bisa kembali beroperasi hanya dengan sentuhan sepotong korek kuping," ujar pria yang hobi bermain futsal itu.
Dialah Alexander Manurung, pria berumur kepala tiga yang sejak 2004 silam telah terjun menekuni profesi sebagai tukang servis ponsel. Alex Manroe, demikian ia disapa, termasuk angkatan pertama dalam profesi tukang servis ponsel, sejak Indonesia khususnya Jakarta, mengalami serbuan pasar gemuk penjualan ponsel.
Alex, awalnya merintis usaha penjualan ponsel di sebuah mal di kawasan Cijantung, Jakarta Timur. Seiring tingginya permintaan servis, Alex pun nekat mengutak-atik ponsel meski tanpa latar belakang ilmu teknik. Dalam proses belajar selama kurang lebih setahun, beberapa ponsel tentu saja sudah pernah mengalami "nasib buruk" yang lazim disebut "matot", singkatan dari mati total. Namun, Alex tak pernah surut. Semangatnya untuk terus belajar seluk-beluk ponsel akhirnya terbayar juga. Alhasil, segala jenis ponsel berikut segala macam kerusakannya, sudah pernah ditanganinya.
Keahlian Alex kian berkembang pesat dengan kehadiran teknologi informasi yang ikut berkembang pesat. Sejumlah kesulitan saat melakukan servis ponsel dapat dengan mudah ditanyakan dalam forum-forum teknisi ponsel yang telah terbentuk di jejaring media sosial. "Dengan teknologi sekarang, saya dengan mudah bisa mengetahui kerusakan ponsel yang belum pernah saya temui. Di era digital saat ini, segalanya menjadi jauh lebih mudah," ujar Alex bercerita.
Berbekal ilmu servis ponsel yang diperoleh secara otodidak, Alex kemudian memutuskan untuk membuka usaha di luar mal. Pertimbangannya, ongkos sewa kios di pinggir jalan jauh lebih terjangkau ketimbang menyewa kios di pusat perbelanjaan. Sejak membuka usaha mandiri, segala kebutuhan perlahan bisa dipenuhi Alex. Misalnya saja, membiayai pesta pernikahan, membayar sewa rumah, membeli sepeda motor, serta sebagai tulang punggung perekonomian keluarga kecilnya.
Tak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, keputusan membuka usaha servis ponsel itu ternyata cukup membawa berkah bagi orang lain. Itu ditandai dengan kemampuan Alex mengajak tiga orang pemuda untuk bergabung dengannya. Mereka bekerja sebagai tim, dengan kendali manajemen berada di tangan Alex. Agar menggambarkan pentingnya rekan kerja, Alex lantas menamai usahanya dengan "Relasi Phone", sebuah nama yang mengandung nilai filosofis mendalam.
Sebetulnya, Alex masih memiliki impian untuk membuka cabang. Sayangnya, impian itu masih harus tertahan karena keterbatasan modal usaha. Tak ingin patah arang, Alex hingga kini masih terus berupaya meminjam modal usaha dari bank. Dia meyakini, keahliannya sebagai teknisi ponsel sekaligus sebagai manajer usaha mandirinya, sudah cukup dijaminkan sebagai "agunan" ke pihak perbankan.
Meski belum pernah diganjar penghargaan atas prestasinya membuka dan mengelola usaha sendiri, Alex mengaku sudah siap bila sewaktu-waktu diajak mengikuti kompetisi antar wiraswasta berskala kecil dan menengah. Menurut Alex, ajang penghargaan seperti Danamon Entrepreneur Awards, sangat berguna dalam upaya meningkatkan kualitas dan kredibilitasnya sebagai wiraswasta muda. "Apalagi kalau Danamon bersedia mencairkan pinjaman, senang sekali rasanya," Alex terkekeh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H