JIKA memang serius ingin memanen energi baru terbarukan (EBT), tidak ada salahnya mendatangi sebuah kawasan yang cukup jauh dari Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Jaraknya sekitar 240 kilometer dari Medan, dengan waktu tempuh sekitar 8 jam menggunakan kendaraan roda empat. Berselang tiga jam setelah menyusuri keindahan Danau Toba, Anda akan mulai memasuki kawasan berhawa dingin. Itu tandanya, Anda sudah berada di kawasan Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Tobasa, Sumut.
Bahkan, karena letaknya berada di ketinggian, Anda bisa menikmati pemandangan menakjubkan dengan suguhan hamparan Danau Toba. Nama lokasi pemandangan indah itu adalah Bukit Tangiang (Bukit Doa). Mensyukuri anugerah Tuhan melalui doa oleh hadirnya pemandangan indah Danau Toba, mungkin itulah salah satu latar belakang pemberian nama Bukit Tangiang.
Tetapi tunggu dulu, lokasi lumbung EBT yang ingin saya ceritakan bukan di situ. Masih butuh perjalanan darat selama satu jam lagi. Sekadar catatan, ada baiknya berkendara lebih hati-hati dengan kecepatan maksimum 40 kilometer/jam. Kondisi aspal memang sudah cukup bagus, tetapi terlalu banyak tikungan "manis" di sana. Tak hanya tikungan, kondisi geografis yang kini harus dilewati berkontur menurun. Simpelnya, Anda harus bersiap bermanuver dengan jalan menikung sembari menuruni dataran tinggi. Di kiri terdapat jurang, sementara di kanan adalah tebing dengan sedikit pepohonan rindang. Ngeri-ngeri sedap, bukan?
Kini, Anda sudah berada di wilayah Habinsaran, Borbor, Nassau (Habornas), tiga kecamatan yang memiliki kondisi sosial dan geografis yang sangat menyatu. Ketiga kecamatan ini sebelumnya merupakan satu kecamatan di bawah Habinsaran. Seiring datangnya era otonomi daerah sekaligus pertimbangan wilayah yang sangat luas, Borbor dan Nassau akhirnya berpisah dari kecamatan induk. Lalu di mana lokasi lumbung EBT itu? Letaknya berada di wilayah Nassau, tak jauh setelah Anda melewati Parsoburan, ibukota Kecamatan Habinsaran.
Penantian Ratusan Tahun
Semasa kecil, saya dan teman-teman sekolah sudah sangat terbiasa dengan kondisi mati lampu. Sebuah ironi, sebenarnya. Betapa tidak, kampung kami berbatasan dengan lokasi PLTA Sigura-gura, pembangkit listrik yang bahkan mampu memasok kebutuhan listrik PT Inalum. Tetapi faktanya, mati listrik bagi kami merupakan hal yang sangat biasa sejak lama.
Saat itu, warga di kampung kami tentu saja sudah memahami bagaimana cara kerja sebuah PLTA. Soal potensi EBT, seperti yang saya sebutkan di atas, tidak perlu diragukan lagi. Aliran sungai Aek Kualu yang membelah wilayah Habornas sudah sejak lama menjadi "raksasa tidur" EBT bagi kami. Tetapi, keterbatasan modal dan teknologilah yang selama ini kerap menghambat.
Beruntung, setelah penantian ratusan tahun, harapan itu pun muncul pada 2008 silam. Ditandai dengan dimulainya pembangunan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) di Nassau, dengan memanfaatkan sebuah air terjun bernama "Sipittoa", yang cukup legendaris di sana. Sayang seribu sayang, proyek ini seperti hidup segan mati tak mau. Investor bergonta-ganti tetapi nasibnya hingga kini belum jelas.
Itu baru di Kecamatan Nassau. Sementara Aek Kualu juga melintasi Kecamatan Habinsaran dan Borbor. Di Habinsaran, saya memperkirakan masih banyak titik lokasi yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber tenaga PLTMH. Begitu juga dengan Borbor. Namun itu tadi, untuk mewujudkan itu dibutuhkan modal maupun teknologi yang lumayan mahal. Itu tak lain karena lokasinya memang cukup sulit ditaklukkan. Bayangkan saja, jika sudah berada di bibir sungai, itu artinya Anda telah menuruni tebing sejauh kira-kira 50 meter. Dengan kata lain, aliran Aek Kualu berada lebih rendah 50 meter dari atas permukaan jalan.
Dengan beroperasinya PLTA Hasang serta PLTMH lainnya, sudah tentu menjadi kabar baik bagi seluruh masyarakat Habornas. Setidaknya, dengan adanya inovasi untuk energi berkelanjutan melalui pemanfaatan Aek Kualu, anak-anak di sana, dipastikan tidak akan lagi mengalami nasib seringnya mati listrik seperti yang kami alami semasa kecil dulu.