BELAKANGAN, sangat mudah dan terbilang seolah membalikkan telapak tangan bila ingin mendirikan portal berbasis berita. Dengan kru kurang dari 10 orang saja, sebuah portal berita rasanya sudah mampu berjalan. Setidaknya, dari sisi keredaksian. Kalau soal bagaimana menghasilkan uang yang diperoleh dari pemasangan iklan, yang sekaligus menjadi “darah” bagi sebuah media massa cetak maupun elektronik, itu urusan lain.
Nah, saking menjamurnya media massa, khususnya media massa online, menjadi fenomena yang sangat menarik dicermati. Adu cepat dalam penyajian sebuah peristiwa di antara portal berita online merupakan ukuran seberapa kuat kru redaksi bekerja di lapangan. Sebagai contoh, portal berita seperti detikcom saat ini menempati posisi teratas untuk mengetahui berita terkini. Spesialisasi detikcom tergolong canggih soal kecepatan berita. Misalnya saja, lalu lintas dan tabrakan motor saja bisa dengan mudah diketahui detikcom. Betul-betul cepat.
Sementara kompas.com lebih mengacu pada bobot sebuah berita meski tetap mempertimbangkan aspek kecepatan penayangan. Maka tak mudah menemukan berita tabrakan motor di kompas.com, seperti halnya di detikcom. Yang beda tipis dengan detikcom saat ini adalah Merdeka.com, yang juga konsisten menayangkan berita peristiwa.
Ketiga portal berita tersebut agaknya mewakili hampir seluruh media online di Tanah Air. Secara umum, sebuah media online selalu menawarkan kecepatan informasi. Bonusnya, keakuratan dan kevalidan informasi. Dengan kata lain, siapa pemilik kru paling banyak dan tersebar di banyak lokasi, itulah yang pertama sekali mendapat berita.
Barangkali, itulah yang terjadi dalam lima tahun terakhir, di saat penggunaan ponsel pintar dengan berbagai aplikasi portal berita makin “menggila”. Semua peristiwa saat ini bisa diketahui di layar ponsel tanpa perlu membuka laptop apalagi harus mampir dulu ke warung internet alias warnet. Semua portal berita berlomba-lomba untuk selalu yang pertama menayangkan sebuah kejadian.
Namun belakangan, konsep kecepatan berita rasanya mulai memudar yang sangat banyak dipengaruhi media sosial seperti facebook dan twitter. Masing-masing orang kini bisa bertindak layaknya seorang wartawan. Istilah kerennya, citizen journalist. Dengan sekali foto atau merekam video menggunakan ponsel, saat itu pula akan tersiar ke seluruh pelosok dunia. Lalu muncullah istilah “viral” ketika hasil liputan tersebut menjadi perhatian masyarakat luas.
Akan tetapi, soal ulas-mengulas, tirto.id agaknya masih lebih piawai ketimbang kumparan.com. Persamaannya, kedua portal berita ini menampilkan berita dengan wajah yang menarik. Permainan foto maupun infografis menjadi senjata utama untuk lebih menggaet pasar pembaca. Tak kalah penting, dan ini rasanya sangat penting, tampilan video singkat menjadi kunci tentang bagaimana cara menarik perhatian para pembaca. Tanpa video, sebuah berita saat ini bisa-bisa dinilai ‘hoax’.
Kehadiran kedua portal berita ini memang cukup membawa warna baru dalam perkembangan industri media online di Tanah Air. Mereka mampu menangkap apa yang sebenarnya diinginkan pembaca, bukan apa yang diinginkan pihak redaksi.
Kesimpulannya, Tirto dan Kumparan kini telah menempati posisi sang penantang bagi portal berita online yang telah lebih dulu eksis. Sebab bagaimanapun, media massa saat ini adalah sebuah bisnis yang pada prinsipnya juga menimbang untung-rugi bagi perusahaan pers itu sendiri. Jika tak mampu bersaing dengan media massa yang lain, dipastikan akan ditinggalkan pembaca yang otomatis mengubur dalam-dalam jatah pembagian kue iklan.
Konon, berita berkualitas adalah nyawa sebuah media massa sementara iklan adalah darahnya. Keduanya saling terikat dan terkait. Tidak boleh timpang bila tidak ingin tumbang di tengah jalan.