SELURUH energi anak bangsa rasanya habis terkuras sejak mencuatnya kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Makin menjadi-jadi karena berbarengan dengan Pilgub Jakarta yang dalam prosesnya cukup melelahkan pendukung maupun anti Ahok. Dalam pusaran polemik itu, muncullah nama Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR yang sejak lama aktif menyuarakan perlunya pengawasan terhadap lembaga antikorupsi KPK. Selebihnya, banyak sekali tudingan negatif terhadap politisi PKS itu hingga mencapai pada kesimpulan bahwa Fahri agaknya tidak lagi mewakili suara rakyat banyak.
Fahri, yang mantan aktivis mahasiswa di Orde Baru, saya akui sangat tenang menghadapi berbagai cemoohan yang ditujukan padanya. Berusaha meyakinkan rakyat Indonesia bahwa apa yang sedang dilakukannya masih dalam koridor hukum. Terpenting lagi, masih sesuai dengan fungsinya sebagai wakil rakyat, yang salah satunya mengawasi kinerja pemerintah.
Saya bukan sedang ingin membela Fahri, terlepas benar atau salah pemikirannya. Namun, sangat penting bagi kita semua untuk tetap menghargai perbedaan pendapat. Toh, Fahri melakukannya dengan cara elegan, bukan dengan kekerasan verbal maupun fisik. Sebagai anggota DPR, saya rasa sah-sah saja Fahri berbicara apa saja dan kepada siapa saja di lembaga eksekutif maupun edukatif. Tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Seorang Fahri yang kritis dan tegas masih jauh lebih baik dari ratusan anggota DPR yang selama ini tidak  pernah bersuara. Ya, jumlahnya ratusan. Coba hitung, dari 560 anggota DPR di Senayan, kira-kira berapa orang yang aktif bersuara di media massa? Saya jamin tak sampai 100 orang. Anggota DPR yang tampil di media televisi terbukti itu-itu saja. Di koran maupun media online juga sama saja. Lantas, kemana suara 460 anggota DPR yang lain? Ini perlu direnungkan bersama. Akan jauh lebih baik seorang anggota DPR yang sibuk mengkritisi DPR ketimbang anggota DPR yang hanya diam seribu bahasa.
Jika Fahri ditolak di Sulawesi Utara, dengan embel-embel intoleran, saya berpikir kenapa harus ditolak dengan cara begitu? Bukankah akan lebih elegan dengan mengajaknya berdiskusi? Kalaupun Fahri dicap intoleran oleh masyarakat Sulawesi Utara, konstituen Fahri di Nusa Tenggara Barat (NTB) tentu saja menilai Fahri masih toleran. Lantas, bagaimana cara mengukur kadar toleran/intoleran seseorang yang secara sah masih menjabat sebagai anggota DPR?
Barangkali, kita masih perlu membiasakan dialog sebagai solusi paling jitu. Walau harus diakui berdialog atau berdiskusi dengan seorang Fahri memang bukan perkara mudah. Sepak terjangnya di dunia dialektika sudah teruji sejak mahasiswa. Namun, apapun itu, Fahri tetap seorang manusia biasa, yang mempunyai hati nurani. Ia tidak mungkin rela dan membiarkan Indonesia tercabik-cabik hanya karena kesalahpahaman belaka. Tidak ada untungnya menolak Fahri.
Yuk, diskusi jauh lebih baik. Kepala panas hati tetap dingin….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H