KENAPA pengacara berdarah Batak banyak yang terkenal? Begitulah pertanyaan yang mungkin muncul di banyak benak kita. Apa sih rahasianya?
Suara keras, nada jelas, dan intonasi yang tegas, itulah ciri khas pengacara Batak. Maka tak heran bila pemirsa televisi sering terpesona tatkala pengacara Batak sedang menjelaskan duduk perkara ataupun terlibat adu argumen dengan pengacara lain. Bonusnya, mereka memang mampu memahami sebuah persoalan dengan sangat baik dan utuh.
Mari kita bahas satu persatu. Bersuara keras, jelas, serta berintonasi tegas merupakan modal bawaan lahir, khususnya pengacara yang masih asli kelahiran Tanah Batak. “Talenta” itu sudah diwariskan turun-temurun, sehingga sebenarnya tidak perlu dipelajari lebih dalam. Sejak kecil, orang Batak di Tapanuli sana memang sudah sering mengikuti “kursus vokal”di banyak ajang. Dari lingkup keluarga inti, keluarga besar, hingga lingkup adat.
Momen itu biasanya hadir pada suasana Natal dan Tahun Baru, ketika masing-masing anggota keluarga diberikan bahkan diharuskan mencurahkan perasaannya sepanjang tahun yang telah dilewati. Anggaplah itu semacam evaluasi kehidupan. Di dalamnya termasuk uneg-uneg dari hal sepele hingga tingkat tinggi, namun biasanya diakhiri dengan permohonan maaf kepada seluruh anggota keluarga. Sedikit melankolis.
Di lingkup keluarga besar juga demikian. Anak-anak sudah diajarkan tentang kekerabatan sejak dini. Misalnya, kepada siapa harus memanggil sebutan “Tulang, Nantulang, Namboru, Amangboru, Ompung, Uda, Bapatua, Lae, Ito”, dan lainnya. Jangan pernah macam-macam sama Tulang atau Nantulang (istri tulang), juga merupakan bagian penting dalam pelajaran adat Batak. Tulang (saudara laki-laki dari ibu) mempunyai posisi cukup penting, yang dianggap sebagai Raja, sehingga harus dihormati.
Selanjutnya, di lingkup yang lebih luas, sejak kecil orang Batak sudah terbiasa mengikuti atau paling tidak ikut mendengarkan bagaimana konsep adat bila melibatkan banyak tali kekerabatan. Di sini juga harus hati-hati. Salah sedikit bisa berakibat fatal hingga mengakibatkan konflik horizontal. Hanya karena sepotong daging (disebut jambar; yang menentukan posisi adat seseorang), bukan tidak mungkin mendatangkan musibah permusuhan. Bukan karena tak mampu membeli daging berkilo-kilo, tetapi ada “harga diri” yang tersangkut dalam sepotong daging itu.
Lantas, apa hubungan terbiasa berbicara di hadapan umum dan mengetahui seluk-beluk adat-istiadat pada profesi pengacara? Tentu saja hubungannya sangat erat. Dunia hukum tak jauh berbeda dengan aturan dalam adat. Keduanya sama-sama membutuhkan pemahaman yang utuh dalam memahami sebuah persoalan. Bagaimana mungkin seorang pengacara bisa dipercaya menangani sebuah kasus kalau berbicara di hadapan umum saja tidak percaya diri? Terpenting lagi, si empunya kasus tentu tak mau mempercayakan kasusnya kepada pengacara yang tidak mampu memahami persoalannya secara utuh dan mendalam.
Maka ketika seorang pengacara Batak mampu menjelaskan kasus yang ditanganinya secara rinci, pelajaran itu sesungguhnya sudah diperoleh sejak kecil. Perpaduan ilmu hukum yang diperolehnya di bangku kuliah, akan semakin membuatnya cemerlang. Ia boleh ke kiri, kanan, samping, belakang, bahkan meliuk-liuk.
Agar tulisan ini lebih konkret, Maddenleo T Siagian, SH adalah salah satu contohnya. Meski usianya masih terbilang muda, Madden yang lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, kini telah memiliki kantor hukum sendiri. Ia menamai kantor hukumnya: Madden Siagian & Partners Law Firm, yang telah malang-melintang sejak 2012 lalu. Kantor hukum yang berkedudukan di Jakarta ini sudah menangani banyak kasus baik di Jakarta maupun di daerah.
Sebagai pengacara muda, Madden sering dipercaya menangani berbagai kasus utamanya yang berkaitan dengan litagasi dan kepailitan. “Relasi dan jaringan juga sangat penting dimiliki seorang pengacara,” ungkap Madden membagikan sedikit rahasia kesuksesannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H