Ini bukan tentang aku, tapi tentang anakku. Waktu masih jadi murid SD kelas satu.
Kewajiban menyekolahkan anak dengan memasukkannya di Taman Kanak-kanak aku lakukan sebagai orangtua dengan menyekolahkannya di sekolah terbaik saat itu. Agak jauh dari rumah kami, namun masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Keinginan memberikan pendidikan terbaik memang sudah tertanam sejak lama, bahkan sebelum aku menikah.
"Bila perlu berhutang", kataku berulang pada isteri, yang juga didengarkan anakku seiring tingkatan pendidikannya kemudian. Prinsip anakhonhi do hamoraon di ahu (anakkulah harta kekayaan bagiku) memang budaya yang tertanam dan 'nggak bisa ditawar bagi orangtua Batak.
Sebagaimana anak-anak murid lainnya yang sudah bisa membaca, keinginan agar anakku juga bisa lancar membaca tentu saja menghinggapiku. Nah, di sinilah perjumpaan tentang pemberian hadiah tersebut dimulai.
Dimulai dengan istriku yang mengajar anakku membaca di rumah. Sangat intensif dengan metoda "apa adanya", artinya mana yang dianggap paling tepat. Maklum, 'nggak punya akta mengajar ...
'Nggak sabaran, karena aku rasa lambat, maka aku pun mengambil alih. Apalagi dengan latar belakangku sebagai trainer dan (konon) selalu juara kelas ketika masa sekolah dulu, masa' 'nggak bisa sekadar mengajari membaca. Cemenlahhh ...
Namun, apa yang terjadi? Ternyata aku 'nggak lebih mampu daripada istriku dalam mengajari anakku membaca. Utamanya lebih 'nggak mampu dalam menahan diri dari emosi yang didorong oleh ketidaksabaran. Akhirnya, give up-lahhh ...
Sampai suatu sore menjelang malam ketika aku pulang dari kantor aku lihat anakku belajar dengan dituntun oleh (yang belakangan aku tahu) gurunya di sekolah. Ternyata istriku dengan kemampuan negosiasi seorang ibu dan didorong untuk memajukan anaknya, berhasil membujuk bu guru untuk bersedia mengajar private anakku. Khusus pelajaran membaca.
Ajaib! Tak sampai dua minggu anakku bisa membaca. Hampir semua huruf yang dilihatnya pasti dibaca. Dari semula mengeja, dengan cepat pula membaca dengan lancar.