Survey elektabilitas partai politik yang dirilis Kompas hari ini menunjukkan sesuatu yang bisa dipelajari untuk segera diperbaiki. Ini jika kita bicara secara spesifik tentang Partai NasDem yang baru saja selesai menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional pada minggu lalu. Seperti yang aku tulis beberapa hari lalu, yang paling banyak diingat masyarakat adalah hasil rakernas yang menyebutkan rekomendasi calon presiden 2024 ada tiga, yaitu Anies Baswedan, Andhika Perkasa, dan Ganjar Pranowo.
Rilis survei yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 26 Mei-4 Juni 2022 menunjukkan urutan sebagai berikut:
 PDIP 22,6%
Gerindra 12,5%
Demokrat 11,6%
Partai Golkar 10,3%
PKB 5,4%
PKS 5,4%
Nasdem 4,1%
PAN 3,6%
PPP 2%
Angka yang tidak membanggakan jika tidak tidak ingin dikatakan memalukan, karena posisinya masuk kelompok paling bawah bareng PAN dan PPP, dua partai yang sudah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu bergabung dengan Golkar. Terlepas bahwa mekanisma survey bisa di-challenge, namun hasilnya tetaplah layak dijadikan indikator, paling tidak pada batas tertentu.
Salah Rekomendasi Capres?
Terlepas bagaimana mekanisma pengerucutan tiga capres Nasdem tersebut -- apakah benar melalui perenungan, pengendapan, atau apa pun itu -- menyebutkan nama Anies sangat beresiko bagi Nasdem yang jorjoran dengan jargon restorasi kebangsaan mengingat proses kemenangan Anies dalam pilgub DKI yang sangat nyata bertentangan dengan kesatuan dan persatuan bangsa. Â
Survey yang dilakukan sebelum rakernas yang mengeluarkan rekomendasi capres tersebut pun angka elektabilitas Nasdem sudah jeblok, bagaimana pula setelah khalayak mengetahui bahwa Nasdem punya salah satu capres yang memenangkan kontestasi dengan "politik ayat dan mayat"? Bagi rakyat yang waras berdemokrasi dan cinta NKRI, memilih capres seperti Anies bagai melawan kewarasan pikiran saja.
Mengambang Mengindikasikan Keraguan
Ada lagi, dengan rekomendasi tiga capres, secara sadar atau tanpa sadar Nasdem memberi sinyal masih galau alias belum mantap dalam pemilihan figur. Beda dengan partai lain yang hanya mengenal calon tunggal, misalnya Golkar dengan Airlangga, Gerinda dengan Prabowo, bahkan Demokrat yang makin nyungsep dari pemilu ke pemilu pun masih berani mencalonkan AHY.
Sebenarnya, Anies bisa dikategorikan sebagai "orang dalam" Nasdem mengingat beliau termasuk salah seorang deklarator Nasdem di awal pembentukannya sebelum bertransformasi menjadi parpol. Layaknya parpol lain, sepatutnya pulalah Anies dijadikan sebagai calon tunggal capres 2024 dari Nasdem. Namun, mengapa tidak demikian?
Jawabnya kembali ke frasa awal, ada keraguan dan masih meragukan. Sebagai produk, Anies ini bukanlah pemegang market share unggulan di kategorinya. Brand image-nya jelek, kecuali bagi segelintir orang yang tidak suka NKRI yang menghargai kebhinnekaan. Sebagai saham, bukan pula masuk sebagai blue chip.
Kecuali Nasdem bersedia bekerja keras me-rebranding habis-habisan, semua bisa saja terjadi. Namanya politik, 'kan? Semua masih punya kemungkinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H