Pada suatu masa ketika masih berlangsung apa yang kemudian disebut sebagai "Daerah Operasi Militer", aku ditempatkan Perusahaan untuk bertugas di Aceh (yang kemudian berubah menjadi Nanggroe Aceh Darussalam), daerah istimewa di NKRI tercinta ini. Sebagai "minoritas" tentu saja ini mengejutkan bagiku dan juga bagi banyak orang.
Lebih sepuluh tahun aku bekerja dan bergaul dengan masyarakat yang semuanya memberikan kesan tertentu bagiku dan keluarga, tentunya. Tidak banyak yang bersedia ditugaskan ke wilayah dengan gangguan keamanan intensitas tinggi saat itu. Sampai tiga orang rekan sekerja lebih memilih berhenti dari Perusahaan daripada menggantikanku, mengingat betapa menakutkannya kabar tentang Aceh, yang sebaliknya memberikanku banyak hal istimewa, baik yang tanda kutip maupun yang tanpa tanda kutip.
Mungkin sebagai kompensasi untuk keberanianku -- sebagai "minoritas" -- Perusahaan mengapresiasi dengan mempromosikanku berulangkali. Selain itu, tentu saja karena prestasi yang berhasil kami ukir bersama kawan-kawan setim yang merupakan kombinasi "pendatang" yang juga minoritas dan mayoritas "pribumi" yang kemudian menjadi saudara bagiku, bahkan melebihi saudara kandung.
Selain berbagai peristiwa yang menunjukkan betapa dekatnya persaudaraan -- di antaranya manakala kami melakukan ibadah agama dengan melantunkan nyanyian setengah suara sesuai ketentuan yang berlaku saat itu, mereka menjagai dan menenteramkan -- mereka sering datang berkunjung ke kediaman kami, makan dan minum bersama. Hingga suatu kali terjadi kerusuhan besar dan penjarahan toko-toko non pribumi sebagaimana yang juga terjadi di banyak wilayah Indonesia menjelang jatuhnya Orde Baru.
Kantor kami dirusak dan gudang dijarah habis-habisan. Demikian juga pemilik usaha tempat bekerja sehari-hari yang harus dievakuasi karena rumahnya juga habis dijarah dan mereka merasa terancam keamanannya.Â
Saat itu aku sedang di Medan untuk mengikuti business meeting sehingga tinggallah keluargaku sendirian di Aceh. Hari yang sangat mencekam, menakutkan, mencemaskan banyak orang, utamanya para pendatang.
Puji Tuhan, esoknya ketika berhasil bertelepon dengan isteri, dikabarkan keadaan aman karena rumah kami dijagai oleh tetangga, masyarakat sekitar, dan kawan-kawan sekantor.Â
Perasaan teduh membuat khawatir dan cemas segera luruh di suasana rusuh. "Yang bikin rusuh itu orang-orang jahat, pak. Mereka bukan saudara kita.", demikian kata si Agam ketika aku kembali ke Aceh kemudian, yang juga diaminkan oleh kawan-kawan lainnya.
Kesedihan memuncak membalas lambaian tangan mereka yang sudah melebihi saudara sendiri ketika mengantarkan kami sampai di perbatasan karena kami diputuskan Manajemen Kantor Pusat harus meninggalkan Aceh karena situasi keamanan yang dianggap tidak kondusif lagi.Â
Jujur, kenangan berinteraksi dengan orang-orang yang baik dan ramah selama di Aceh seringkali membuahkan rindu untuk datang kembali bertemu saudara-saudara di sana.