Belum lama ini, publik dihebohkan oleh pernyataan Rocky Gerung yang menyebut Presiden Jokowi dengan sebutan "bajingan yang tolol" yang disampaikan Rocky Gerung pada saat menghadiri pertemuan organisasi buruh di Islamic Center Kota Bekasi, Jawa Barat. Pernyataan tersebut dimuat dalam video Aksi Aliansi Sejuta Buruh yang ditayangkan di saluran Youtube Refly Harun (CNNIndonesia, 1/8), namun dikabarkan video tersebut menghilang atau dalam bentuk privat (detik, 1/8).
Benarkah Rocky Gerung, akibat pernyataannya tersebut, dapat dikategorikan melakukan penghinaan terhadap presiden atau hanya sekedar mengkritik? Bagaimana posisi pasal penghinaan terhadap presiden dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia? Bagaimana kekuatan mengikat suatu pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dapat "dihidupkan" kembali dalam ketentuan undang-undang yang lain?
Tulisan ini coba mengulas posisi pasal penghinaan terhadap presiden yang dimasa kolonial Belanda dianggap sebagai Haatzai Artikelen, pengadopsian pasal ini pada UU ITE, gugatan di MK, hingga penerapan asas yang penting dalam pemidanaan.
Antiklimaks Revisi Pasal Karet
Pada 15 Februari 2021 yang lalu, Presiden Jokowi berniat merevisi pasal-pasal "karet" yang terdapat pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, jika diperhatikan dari 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang disampaikan dalam Rapat Paripurna ke-15 pada tanggal 23 Maret 2021 yang lalu, UU ITE tidak menjadi agenda prioritas revisi.
Hal ini turut dipertegas oleh Menkopolhukam, Mahfud MD, pada tanggal 29 April 2021, bahwa tidak akan ada revisi UU ITE (detik, 29/4/2021). Pihak pemerintah hanya membuat pedoman teknis kriteria implementasi dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian dan lembaga, yakni Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri.
Dalam terminologi hukum, pasal-pasal "karet" mulai sejak berlakunya Wetboek van Straftrecht (WvS) hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dijadikan sebagai pedoman dalam UU ITE yang mengandung delik ujaran kebencian, pencemaran nama baik, permusuhan, dan penghinaan terhadap pemerintah disebut dengan istilah "Haatzai  Artikelen".
Haatzai Artikelen
Adalah G. van Loon, seorang editor koran Het Niews van den Dag, dijatuhi hukuman penjara selama delapan hari oleh Pengadilan Batavia pada tahun 1914 karena tulisannya dianggap dapat menimbulkan kebencian di kalangan sesama penduduk Eropa di Hindia Belanda.
Namun, pada Januari 1915, Pengadilan Tinggi Hindia Belanda membatalkan putusan tersebut karena pasal-pasal yang dikenakan kepada van Loon dianggap tidak berlaku bagi sesama golongan penduduk Eropa di Hindia Belanda. Perasaan anti-Jerman sangat kuat melanda kalangan orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda muncul saat perang berkecamuk di Eropa pada awal abad ke-20 sehingga surat-surat kabar di Batavia dan Surabaya terpengaruh dan terseret untuk memuat percikan perasaan tersebut (Dijk, 2007).