Filsuf Perancis, Charles de Secondat de Montesquieu (1689-1755) atau biasa disebut Montesquieu dalam bukunya "De l esprit des lois" (1748) pada Bab IV alinea ke-2 mengatakan "Pour qu on ne puisse abuser du pouvoir, il faut que, par la disposition des choses, le pouvoir arrete le pouvoir", yang dalam terjemahan bebasnya adalah "agar seseorang tidak dapat menyalahgunakan kekuasaannya, maka kekuasaan perlu diawasi oleh kekuasaan." Kalimat tersebut bersambung dengan penegasan "Une constitution peut etre telle que personne ne sera contraint de faire les choses auxquelles la loi ne leoblige pas, et a ne point faire celles que la loi lui permet", yaitu sebuah konstitusi diperlukan sehingga tidak ada yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh hukum, dan tidak melakukan apa yang tidak diizinkan oleh hukum (Montesquieu, 1995). Kekuasaan yang dimaksud dalam hal ini adalah konstitusi yang dibentuk untuk mengawasi kekuasaan. Konsep ini merupakan postulat dalam membatasi kekuasaan eksekutif dalam hubungannya dengan sistem ketatanegaraan modern (Gultom, 2021).
Konstitusi yang dimaksudkan dalam konteks ini merupakan konstitusi tertulis, yang merupakan suatu dokumen, dimana J.J. Rousseau dalam bukunya yang berjudul "Du Contrat Social, Ou Principes Du Droit Politique" menyebutnya sebagai kontrak sosial. Maksudnya, konstitusi sebagai hasil dari kesepakatan bersama masyarakat dalam membentuk kehidupan bersama dalam wadah negara yang mengandung muatan nilai-nilai fundamental dan norma-norma yang dituangkan secara tertulis dan/atau diberlakukan secara nyata dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara (Rousseauonline, 2012). Dalam hal ini, norma yang dimaksud adalah norma hukum, yang disebut sebagai hukum konstitusi (constitutional law) dan norma yang terkandung di dalamnya merupakan norma etika, maka hal itu dapat dinamakan sebagai etika konstitusi (constitutional ethics) (Asshiddiqie, 2014).
Menurut Hans Kelsen, bagi sebuah negara, konstitusi berkedudukan sebagai hukum dasar atau fundamendal law (Kelsen dalam Voegelin, 1945). Murid Kelsen, Hans Nawiasky, dalam dalam teori penjejangan atau theorie von stufenufbau der rechtsordnung, menyebut konstitusi sebagai aturan dasar negara atau staatsgrundgesetz dengan Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) sebagai syarat berlakunya suatu konstitusi. Jika stufenufbau theorie ini diterjemahkan dalam ketatanegaraan di Indonesia, maka posisi Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm dan UUD 1945 sebagai staatsgrundgesetz (Asshiddiqie dan Safa'at, 2006). Penegasan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dapat ditemukan pada Penjelasan Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah menjadi UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Demikian halnya dengan posisi UUD 1945 dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat pada Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Menjamin Konstitusionalisme Hukum
Konstitusionalisme dapat diterjemahkan sebagai paham atau kepercayaan tentang substansi dari konstitusi yang digunakan dan dijalankan dalam bernegara. Paham dan kepercayaan tersebut berkembang seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat. Konstitusionalisme tidak hanya berpegang pada norma-norma yang diatur dalam konstitusi, tetapi juga tercermin dari praktik kehidupan bernegara (MKRI, 2015).
Jimly Asshiddiqie membagi konstitusionalisme ke dalam 5 (lima) fase perkembangan, yakni konstitusionalisme di masa Yunani Kuno, berupa negara kota dengan demokrasi langsung; konstitusionalisme di masa Romawi, berupa sistem monarki, republik, dan aristokrasi; Â konstitusionalisme di abad pertengahan, berupa feodalisme dan imperium; konstitusionalisme di masa renaisance, berupa despotisme; dan konstitusionalisme modern yang bercorak nasional dan demokratis (Asshiddiqie, 2007).
Konstitusionalisme modern bertendesi pada supremasi konstitusi sehingga hal tersebut yang membedakannya dengan konstitusionalisme pra-modern yang lebih bercorak politik (Harijanti, t.t). Konstitusionalisme modern didasarkan pada dalil bahwa berlakunya konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Apabila negara tersebut menganut paham kedaulatan rakyat, maka legitimasi konstitusi bersumber dari rakyat. Hal ini yang membuat konstitusionalisme modern bertumpu pada pembatasan terhadap kekuasaan yang senada dengan ungkapan Montesquieu di atas, bahwa kekuasaan perlu diawasi oleh kekuasaan, yaitu konstitusi.
Dengan konstitusionalisme modern, supremasi konstitusi dapat termanifestasi dari pembuatan undang-undang yang selalu berhaluan pada konstitusi. Dan jika undang-undang yang dihasilkan oleh kekuasaan tidak mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi, maka berdasarkan prinsip supremasi konstitusi, rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam paham konstitusionalisme modern dapat mengajukan keberatan dalam bentuk pengujian undang-undang terhadap UUD atau judicial review.
Judicial Review dan Keberadaan MK
Ada 2 (dua) peristiwa penting yang berkaitan dengan judicial review dan keberadaan Mahkamah Konstitusi. Pertama adalah putusan yang ditulis John Marshall ketika menjabat Ketua Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi dalam perkara "Marbury vs. Madison" tahun 1803 (Asshiddiqie, 2005). Dan kedua, ide pembentukan Verfassungsgerichtshoft (Mahkamah Konstitusi) yang digagas oleh Hans Kelsen pada tahun 1919, dimana pada tahun 1920 Austria mendirikan Mahkamah Konstitusi yang pertama di dunia (Asshiddiqie dan Syahrizal, 2005).
Dalam konteks ketatanegaraan, sejarah ide pengujian undang-undang di Indonesia dapat ditelusuri dari gagasan Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ketika Yamin mengusulkan Balai Agung atau yang sekarang disebut Mahkamah Agung diberi kewenangan membanding undang-undang. Akan tetapi, usulan tersebut disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa Indonesia menganut pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan sebagaimana yang telah disepakati dalam UUD 1945. Terkait dengan konsep pembagian kekuasaan yang disepakati tersebut, terdapat prinsip supremasi MPR dimana hakim tidak boleh menilai dan menguji undang-undang produk legislatif. Tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menilai undang-undang (Asshiddiqie, 2004).