Menurut laporan UN Permanen Forum on Indigenous Issue (2014) memperkirakan jumlah indigenous peoples sekitar 370 juta jiwa. Dan 2/3 dari jumlah tersebut tinggal di Asia. (Arizona, 2014). Pada tahun 2000, Departemen Sosial mencatat kelompok Komunitas Adat Terpencil (KAT) sebanyak 242.514 kepala keluarga (KK) atau 1.212.575 jiwa yang tersebar di 18 provinsi. Populasi kebanyakan terdapat di Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Pada tahun 2006, Departemen Sosial melakukan pemetaan kembali yang kemudian dimutakhirkan pada tahun 2008 dan menghasilkan jumlah populasi KAT sebanyak 229.479 KK. Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menyebutkan jumlah penduduk yang tinggal di desa hutan mencapai 33.512.845 jiwa. Sementara menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), jumlah masyarakat adat di Indonesia sebanyak 80 juta jiwa (Cahyaningrum, 2015).
Pengakuan Hutan Adat
Hingga tahun 2019, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan luas hutan adat sebanyak 34.569 Hektare dari 574.119 luas wilayah indikatif hutan adat (Antaranews, 9/8/2019). Luas hutan adat ini bertambah dari 17.243 Hektar di tahun 2018. Namun luas wilayah indikatif hutan adat versi Kementerian LHK ini masih jauh dari usulan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yakni 9,6 juta hektare.
Menurut AMAN, Indonesia membutuhkan waktu hampir 200 tahun untuk mengakui jumlah minimum hutan adat di Indonesia jika menggunakan percepatan pengakuan hutan adat versi Kementerian LHK (RMI, 2019).
Pengakuan negara terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat merupakan bentuk kewajiban negara di dalam pemenuhan hak asasi warga secara legal formal yang di dalamnya mencakup perlindungan Masyarakat Hukum Adat dari ancaman ekspansi modal lewat korporasi perkebunan dan kehutanan. Perlindungan yang dimaksud disini mencakup aspek wilayah adat, pranata adat, lembaga adat, dan tradisi adat. Dengan demikian, dibutuhkan undang-undang sebagai jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
Di sisi lain, konflik tenurial antara Masyarakat Hukum Adat dengan korporasi swasta, kepentingan perusahaan yang dikelola oleh pemerintah, maupun perseorangan telah terjadi sejak Indonesia belum ada hingga kini. Pertanyaannya, bilakah negara, melalui Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat, bersedia mengeluarkan areal-areal milik masyarakat adat yang sebelumnya pernah diklaim lewat hak istimewa (perizinan) yang diterbitkan bagi korporasi swasta maupun perusahaan yang dikelola pemerintah, seperti izin Hak Guna Usaha (HGU)?
Selain itu, proses pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak diatur secara memadai, tumpang tindih, dan sektoral. Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, prosedur pengukuhan keberadaan masyarakat adat melalui Perda. Sementara, dalam Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Tatacara Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengatur penetapan Masyarakat Hukum Adat melalui Keputusan Kepala Daerah, yakni Bupati/Walikota atau Gubernur. Hal yang sama juga terdapat dalam Permen ATR No. 10 Tahun 2016 tentang Tatacara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu ditetapkan melalui Keputusan Kepada Daerah.
Terkait dengan proses dalam memperoleh pengakuan ini, masyarakat adat akan berbenturan dengan mental pejabat dan birokrasi mulai dari tingkat daerah hingga pusat. Lagi-lagi hal ini kembali kepada komitmen politik (political will) Kepala Daerah beserta legislatif daerah dalam membuat prioritas kebijakan yang berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat di wilayah kekuasaannya, mulai dari pendataan hingga penerbitan keputusan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat.
Kepala daerah harus mampu menggerakkan mesin birokrasi di wilayah yang termasuk dalam Wilayah Adat untuk mempercepat proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat agar efektif, efisien, tidak bertele-tele, serta tidak diskriminatif. Istilah "jemput bola" mungkin lebih tepat digunakan dalam upaya melakukan inventarisasi komunitas-komunitas Masyarakat Hukum Adat, pemetaan Wilayah Adat, hingga penetapan tapal batas yang merupakan wilayah yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat.
Kiranya pengakuan negara terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk undang-undang nantinya tidak menjadi beban bagi masyarakat adat dalam memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak-haknya. Dan semoga RUU Masyarakat Hukum Adat mendapat pengesahan yang tidak terlalu lama dan menjadi solusi atas problem yang selama ini dihadapi masyarakat adat.
*Penulis adalah Mahasiswa konversi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Graha Kirana/Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP USU