BAHASA PENGHABISAN UNTUK SERIGALA
Sajak Pardamean Ronitua Harahap
serigala, serigaka, serigala
mengapa laparmu tak kunjung puas
haruskah seluruh daging yang ada
haruskah semua nyawa yang ada
tak bersisa
serigala, serigala, serigala
yang beranak pinak
tak terkira berapa banyak tubuh kau cabik-caik
tak terkira berapa banyak kepala tersobek kuku tajammu
tak terkira berapa banyak hati lumat oleh taringmu
katakanlah serigala
bahasa apa yang dapat menghentikanmu?
serigala, serigala, serigala
bahasa apa yang kau kenal
selain bahasa kebuasan
selain bahasa kerakusan
yang asing bagi kami
ketika saudara kami menyalakan obor menampakkan diri
kau melesat ke dalam gelap
dan sekonyong-konyong menyerang dari belakang
ketika saudara kami menyapamu dengan bahasa diam
mulutmu mengunyah mulutnya yang terkunci
ketika saudara kami membujukmu dengan kasih
kau tolak lewat gonggongan melengking angkuh
serigala, serigala, serigala
bahasa apa yang kau pahami?
ketika saudara kami bertutur lembut
kau balas dengan taringmu yang tajam
ketika saudara kami berpesan dengan nyanyian indah
amarahmu menerjang ke segala penjuru
ketika saudara kami berbicara dengan bahasa kesabaran
hidungmu mendengus memilih mangsa yang paling sabar
serigala, serigala, serigala
kami tak akan bertanya lagi
maka di mana pun kau hari ini
kami tak menunggu
kami datang
dengan satu bahasa
bahasa penghabisan
inilah bahasa kami
bahasa keberanian
dengan bahasa itu kami berseru
mengejarmu sampai menang
* Sajak ini ditulis pada bulan Reformasi 1998
KISAH IBU TUA
Sajak Pardamean Ronitua Harahap
ibu tua itu menghentikan langkahnya
mendengar petir meledak di langit kelam
ia terguncang
matanya silau
hatinya tersayat
ibu tua itu menangis
oh, si pembunuh datang lagi
berapa korban lagi akan binasa
berapa banyak darah lagi akan tertumpah
ibu tua itu nyaris menutup matanya
yang penat
yang telah mengering
yang tak kuat lagi untuk melihat
hari-hari terakhir ini
ibu tua itu telah menyaksikan banyak pembunuhan
si pembunuh membunuh pejuang sejati
si pembunuh membunuh tunas mengembang
membunuh kedamaian
membunuh keadilan
membunuh kemerdekaan
membunuh kerukunan
dan oh ...
juga membunuh hati nurani
juga membunuh akal sehat
ibu tua itu lelah menyaksikan senjata
senjata kekuasaan liar
ibu tua itu lelah menyaksikan peluru
peluru ketamakan
ibu tua itu nyaris menutup matanya
tapi siapakah nanti yang dapat bersaksi
untuk sejarah
ibu tua itu adalah ibu pertiwiku
yang menyaksikan
jutaan anak cucunya yang gagah
membawa raga
membawa akal
membawa hati
maju menjadi sasaran pembinasaan
lebih banyak lagi
lebih banyak lagi
sampai tiba harinya
senjata kekuasaan liar tercampak
peluru ketamakan habis tak bersisa
dan kebiadaban sirna
dan ibu pertiwiku
meneruskan kembali langkahnya
menuju cita-cita mulia.
* Sajak ini ditulis pada bulan Reformasi 1998
PETANG ITU AJAL MENJEMPUT SAUDARAKU
Sajak Pardamean Ronitua Harahap
petang itu ajal menjemput saudaraku
di atas aspal jalan
yang masih memanas
walau telah digenangi kucuran darah
petang itu ajal menjemput saudaraku
yang tangannya hampa
dan perutnya juga hampa
(ia belum sempat melahap sarapan dan makan siang
karena bekal uang dari bundanya yang miskin
hanya cukup untuk membayar ongkos bis
mengantarnya ke medan juang)
petang itu ajal menjemput saudaraku
kala ia merindukan keadilan untuk seisi negeri
kala ia ingin menyuarakan kerinduannya
kala ia ingin membawa suaranya
untuk didengar telinga-telinga
yang tertutup kepongahan
petang itu ajal menjemput saudaraku
ketika kepalanya tak lagi tegak
karena dirobohkan peluru tajam
petang itu ajal menjemput saudaraku
menyusul kepergian korban-korban terdahulu
kala keluar titah pembantaian
dari sang tiran
petang itu ajal menjemput saudaraku
dalam unjuk rasa bersejarah
mengakhiri derita dirinya
meninggalkan kepahlawanannya
* Sajak ini ditulis pada bulan Reformasi 1998
DOA TENTANG DARAH
Sajak Pardamean Ronitua Harahap
pada-Mu, Tuhan Yang Maha Damai
kami mengadu
(pasti Engkau juga telah melihat)
betapa murahnya darah tercecer di negeri ini
karena penguasa menurunkan harganya
ketika bercak-bercak darah itu
tanpa kami maui
memberi pertanda merah
pada laras senjata yang buta
pada gedung kekuasaan yang tuli
pada lembaran undang-undang yang bisu
(pertanda merah adalah pertanda amarah kami)
pada-Mu, Tuhan Yang Maha Mengerti
kami mengaku
kami marah pada senjata
yang moncongnya ditodongkan pada kami
kami marah pada kekuasaan
yang moncongnya ditodongkan pada kami
kami marah pada undang-undang
yang moncongnya ditodongkan pada kami
ya Tuhan
bebaskanlah kami dari amarah
ya Tuhan
bebaskanlah kami dari penyebab amarah
dan darah itu tanpa kami maui
baunya menyesakkan dada
dan kami tersesak
dan semakin tersesak
ya Tuhan
bebaskanlah kami dari ketersesakan
ya Tuhan
limpahkanlah hujan kearifan
untuk mencuci negeri kami
* Sajak ini ditulis pada bulan Reformasi 1998
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H