Mohon tunggu...
Pardamean Ronitua Harahap
Pardamean Ronitua Harahap Mohon Tunggu... -

Tinggal di Bekasi. Memiliki dua orang anak. Berminat dalam permasalahan sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan dari Jalanan Jakarta Mei 1998 Menjelang Tumbangnya Rejim Orde Baru

17 Oktober 2010   17:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:21 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

BAHASA PENGHABISAN UNTUK SERIGALA

Sajak Pardamean Ronitua Harahap

serigala, serigaka, serigala

mengapa laparmu tak kunjung puas

haruskah seluruh daging yang ada

haruskah semua nyawa yang ada

tak bersisa

serigala, serigala, serigala

yang beranak pinak

tak terkira berapa banyak tubuh kau cabik-caik

tak terkira berapa banyak kepala tersobek kuku tajammu

tak terkira berapa banyak hati lumat oleh taringmu

katakanlah serigala

bahasa apa yang dapat menghentikanmu?

serigala, serigala, serigala

bahasa apa yang kau kenal

selain bahasa kebuasan

selain bahasa kerakusan

yang asing bagi kami

ketika saudara kami menyalakan obor menampakkan diri

kau melesat ke dalam gelap

dan sekonyong-konyong menyerang dari belakang

ketika saudara kami menyapamu dengan bahasa diam

mulutmu mengunyah mulutnya yang terkunci

ketika saudara kami membujukmu dengan kasih

kau tolak lewat gonggongan melengking angkuh

serigala, serigala, serigala

bahasa apa yang kau pahami?

ketika saudara kami bertutur lembut

kau balas dengan taringmu yang tajam

ketika saudara kami berpesan dengan nyanyian indah

amarahmu menerjang ke segala penjuru

ketika saudara kami berbicara dengan bahasa kesabaran

hidungmu mendengus memilih mangsa yang paling sabar

serigala, serigala, serigala

kami tak akan bertanya lagi

maka di mana pun kau hari ini

kami tak menunggu

kami datang

dengan satu bahasa

bahasa penghabisan

inilah bahasa kami

bahasa keberanian

dengan bahasa itu kami berseru

mengejarmu sampai menang

* Sajak ini ditulis pada bulan Reformasi 1998

KISAH IBU TUA

Sajak Pardamean Ronitua Harahap

ibu tua itu menghentikan langkahnya

mendengar petir meledak di langit kelam

ia terguncang

matanya silau

hatinya tersayat

ibu tua itu menangis

oh, si pembunuh datang lagi

berapa korban lagi akan binasa

berapa banyak darah lagi akan tertumpah

ibu tua itu nyaris menutup matanya

yang penat

yang telah mengering

yang tak kuat lagi untuk melihat

hari-hari terakhir ini

ibu tua itu telah menyaksikan banyak pembunuhan

si pembunuh membunuh pejuang sejati

si pembunuh membunuh tunas mengembang

membunuh kedamaian

membunuh keadilan

membunuh kemerdekaan

membunuh kerukunan

dan oh ...

juga membunuh hati nurani

juga membunuh akal sehat

ibu tua itu lelah menyaksikan senjata

senjata kekuasaan liar

ibu tua itu lelah menyaksikan peluru

peluru ketamakan

ibu tua itu nyaris menutup matanya

tapi siapakah nanti yang dapat bersaksi

untuk sejarah

ibu tua itu adalah ibu pertiwiku

yang menyaksikan

jutaan anak cucunya yang gagah

membawa raga

membawa akal

membawa hati

maju menjadi sasaran pembinasaan

lebih banyak lagi

lebih banyak lagi

sampai tiba harinya

senjata kekuasaan liar tercampak

peluru ketamakan habis tak bersisa

dan kebiadaban sirna

dan ibu pertiwiku

meneruskan kembali langkahnya

menuju cita-cita mulia.

* Sajak ini ditulis pada bulan Reformasi 1998

PETANG ITU AJAL MENJEMPUT SAUDARAKU

Sajak Pardamean Ronitua Harahap

petang itu ajal menjemput saudaraku

di atas aspal jalan

yang masih memanas

walau telah digenangi kucuran darah

petang itu ajal menjemput saudaraku

yang tangannya hampa

dan perutnya juga hampa

(ia belum sempat melahap sarapan dan makan siang

karena bekal uang dari bundanya yang miskin

hanya cukup untuk membayar ongkos bis

mengantarnya ke medan juang)

petang itu ajal menjemput saudaraku

kala ia merindukan keadilan untuk seisi negeri

kala ia ingin menyuarakan kerinduannya

kala ia ingin membawa suaranya

untuk didengar telinga-telinga

yang tertutup kepongahan

petang itu ajal menjemput saudaraku

ketika kepalanya tak lagi tegak

karena dirobohkan peluru tajam

petang itu ajal menjemput saudaraku

menyusul kepergian korban-korban terdahulu

kala keluar titah pembantaian

dari sang tiran

petang itu ajal menjemput saudaraku

dalam unjuk rasa bersejarah

mengakhiri derita dirinya

meninggalkan kepahlawanannya

* Sajak ini ditulis pada bulan Reformasi 1998

DOA TENTANG DARAH

Sajak Pardamean Ronitua Harahap

pada-Mu, Tuhan Yang Maha Damai

kami mengadu

(pasti Engkau juga telah melihat)

betapa murahnya darah tercecer di negeri ini

karena penguasa menurunkan harganya

ketika bercak-bercak darah itu

tanpa kami maui

memberi pertanda merah

pada laras senjata yang buta

pada gedung kekuasaan yang tuli

pada lembaran undang-undang yang bisu

(pertanda merah adalah pertanda amarah kami)

pada-Mu, Tuhan Yang Maha Mengerti

kami mengaku

kami marah pada senjata

yang moncongnya ditodongkan pada kami

kami marah pada kekuasaan

yang moncongnya ditodongkan pada kami

kami marah pada undang-undang

yang moncongnya ditodongkan pada kami

ya Tuhan

bebaskanlah kami dari amarah

ya Tuhan

bebaskanlah kami dari penyebab amarah

dan darah itu tanpa kami maui

baunya menyesakkan dada

dan kami tersesak

dan semakin tersesak

ya Tuhan

bebaskanlah kami dari ketersesakan

ya Tuhan

limpahkanlah hujan kearifan

untuk mencuci negeri kami

* Sajak ini ditulis pada bulan Reformasi 1998

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun