Mohon tunggu...
Astri Parawita Ayu
Astri Parawita Ayu Mohon Tunggu... -

Dosen, Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Psikiater, RS Atma Jaya Peneliti, Nijmegen Institute for Scientist-Practitioners in Addiction, Radboud University

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Narkoba dan Hak untuk Hidup

22 Januari 2015   03:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:38 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Eksekusi 6 terpidana mati dalam kasus peredaran narkoba (Narkotika dan obat/bahan berbahaya lainnya) menjadi topik perdebatan yang cukup hangat di Indonesia. Perdebatan ini bahkan sampai ke tingkat internasional, dengan  ditariknya duta besar Belanda dan Brasil karena di antara terpidana yang dieksekusi ada warga negara mereka. Raja Belanda,  Willem-Alexander, bahkan sampai menghubungi Presiden Joko Widodo secara langsung untuk mengusahakan dibatalkannya eksekusi ini. Televisi Belanda juga menyiarkan hal ini.

Menarik, karena eksekusi mati selalu menjadi perdebatan. Salah satu alasan mereka yang kontra adalah hak seseorang untuk hidup dan tidak ada orang lain, siapapun itu, yang berhak menentukan kematian seseorang. Di pihak lain, mereka yang pro menyatakan bahwa pengedar narkoba menjadi penyebab rusaknya masa depan sampai kematian bagi banyak orang yang kecanduan narkoba.

Sebagai orang awam di bidang hukum, saya tidak ingin menyoal pro kontra hukuman mati dalam tulisan ini. Ketika muncul perdebatan tentang hak hidup pengedar narkoba, saya terusik dengan pertanyaan: bagaimana dengan hak hidup pengguna narkoba?

Pada faktanya, pengguna narkoba di Indonesia dan dunia, masih sering tidak terpenuhi haknya dan mendapat stigma. Mari berbicara kondisi di Indonesia, dari sekitar 3 juta jiwa (1,9%) penduduk Indonesia yang tercatat oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai pengguna narkoba (berdasarkan estimasi tahun 2008), kurang dari 0,5% yang mendapatkan layanan rehabilitasi. Undang-undang Republik Indonesia tahun 2009 tentang narkotika mewajibkan para pengguna narkoba untuk mendapat terapi medis dan rehabilitasi. Sayangnya, sarana terapi medis dan rehabilitasi untuk para pengguna narkoba masih sangat terbatas. Petugas kesehatan (seperti: dokter, perawat, psikolog, konselor, pekerja sosial) yang kompeten dalam memberikan terapi medis dan rehabilitasi bagi para pengguna narkoba juga masih sangat terbatas. Ditambah lagi, pendidikan untuk menangani pengguna narkoba bagi para tenaga kesehatan (termasuk dokter) juga masih sangat terbatas. Berbagai keterbatasan tersebut tentunya juga membatasi hak para pengguna narkoba untuk mendapatkan terapi medis dan rehabilitasi. Padahal, terapi medis dan rehabilitasi, sangat bisa membantu para pengguna narkoba mengatasi kecanduannya.

Tidak terpenuhinya hak pengguna narkoba akan terapi medis dan rehabilitasi bukan sekedar karena terbatasnya fasilitas dan tenaga kesehatan. Stigma dari masyarakat (termasuk keluarga dan profesional kesehatan) menganggap bahwa pengguna narkoba adalah pelaku kriminal, dengan demikian tidak layak dan tidak perlu mendapat layanan kesehatan. Stigma tersebut bahkan berdampak pada hak-hak lain dari para pengguna narkoba. Tidak jarang pengguna narkoba dikucilkan atau bahkan tidak diterima oleh keluarganya, dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaan, dan mendapat perlakuan kekerasan (verbal, fisik, dan seksual) dari masyarakat umum, polisi, tenaga kesehatan, bahkan keluarga.

Salah satu penyebab munculnya stigma dan perlakuan negatif dari masyarakat terhadap para pengguna narkoba adalah ketidaktahuan tentang penggunaan narkoba. Masyarakat secara umum tahu dampak buruk penggunaan narkoba tetapi dampak buruk tersebut kemudian juga dikaitkan dengan si penggunanya, bahwa pengguna narkoba juga adalah orang yang buruk sehingga tidak layak untuk mendapatkan hak-haknya.

Di dalam dunia kedokteran, narkoba lebih dikenal dengan istilah napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya). Narkoba atau napza adalah semua jenis obat-obatan atau zat yang mempunyai sifat psikoaktif, artinya bisa memengaruhi kondisi zat-zat kimia di otak (neurotransmiter) sehingga fungsi otak terganggu. Manifestasi dari gangguan di otak tersebut muncul pada berbagai aspek psikologis yaitu pikiran, perasaan/emosi, dan perilaku. Pada orang yang menggunakan narkoba, pikiran, perasaan, dan perilakunya dipengaruhi oleh narkoba tersebut. Paparan narkoba di otak yang terus menerus pada akhirnya akan membuat kerja otak sedemikian terganggu terutama pada sistem yang berhubungan dengan pikiran, perasaan, dan perilaku. Proses inilah yang menjadi landasan bagi dunia kedokteran untuk mengategorikan penggunaan narkoba sebagai suatu penyakit.

Ketika kondisi otak sedemikian dipengaruhi oleh narkoba, otak akan ‘melupakan’ semua hal yang menimbulkan rasa senang dan hanya ‘mengingat’ narkoba sebagai sumber rasa senang. Dengan demikian memunculkan keinginan yang kuat pada orang tersebut untuk menggunakan narkoba, kemudian disusul dengan perilaku mencari dan menggunakan narkoba kembali. Penggunaan narkoba yang terus menerus juga akan meningkatkan toleransi pengguna terhadap narkoba, artinya dia akan membutuhkan dosis yang terus meningkat untuk bisa mendapatkan efek yang diinginkan. Inilah yang membuat seorang pengguna narkoba sulit menghentikan penggunaannya sampai-sampai sepanjang hari yang dilakukan hanyalah menggunakan narkoba. Masih ditambah lagi dengan pengaruh narkoba pada organ tubuh lainnya sehingga ketika penggunaannya dikurangi atau dihentikan akan memunculkan berbagai bentuk gejala fisik seperti nyeri, mual, mata dan hidung berair. Itulah yang disebut gejala putus zat. Keinginan yang kuat untuk menggunakan narkoba (nagih/craving), perilaku mencari dan menggunakan narkoba yang berulang dan terus menerus, peningkatan dosis narkoba yang digunakan (toleransi), serta gejala putus zat merupakan tanda bahwa seorang pengguna sudah masuk dalam kondisi adiksi narkoba. Dunia kedokteran mengategorikan adiksi sebagai penyakit otak yang kronis dan berulang (sering kambuh). Kondisi ini akan berlangsung terus menerus selama tidak ada intervensi yang dilakukan, maka penting bagi seorang pengguna narkoba untuk mendapatkan terapi medis dan rehabilitasi.

Apa dampaknya ketika seorang pengguna narkoba tidak mendapatkan terapi medis dan rehabilitasi? Yang pertama, tentunya penggunaan narkoba tersebut akan berlangsung terus menerus. Penggunaan yang terus menerus akan memengaruhi kehidupan si pengguna narkoba karena tidak bisa melakukan fungsinya sehari-hari secara optimal. Pada akhirnya tentu saja kematian. Penggunaan narkoba yang terus menerus dan berlebihan bisa menyebabkan over dosis, yang berujung pada kematian. Pengguna narkoba khususnya yang menggunakan jarum suntik berisiko tertular berbagai penyakit, yang bisa menyebabkan kematian. Artinya ketika kita mengurangi bahkan menutup akses pengguna narkoba terhadap terapi medis dan rehabilitasi, sama artinya dengan kita melanggar haknya untuk hidup.

Sayangnya, kita harus kembali dihadapkan pada fakta: keterbatasan sarana dan tenaga kesehatan yang bisa memberikan terapi bagi para pengguna narkoba dan stigma yang mengakibatkan terjadinya perlakuan buruk terhadap pengguna narkoba. Dengan demikian, ketika pemerintah dalam tekanan apapun, dengan tegas melakukan eksekusi bagi terpidana mati pengedar narkoba, beranikah pemerintah dengan tegas mengampanyekan anti stigma terhadap pengguna narkoba? Salah satunya dengan meningkatkan akses dan sarana layanan terapi medis dan rehabilitasi bagi para pengguna narkoba. Apalagi jika presiden sudah menyatakan bahwa Indonesia darurat narkoba, maka kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan dan tenaga profesional untuk terapi medis serta rehabilitasi bagi pengguna narkoba juga kebutuhan darurat yang harus segera dipenuhi. Lebih lanjut, ketika kita berteriak menolak eksekusi mati bagi pengedar narkoba atas nama hak untuk hidup, apakah kita berani berteriak terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak bagi para pengguna narkoba? Jangan-jangan di saat kita menyuarakan hak untuk hidup bagi pengedar narkoba, di saat itu pula kita menghalangi pengguna narkoba untuk mendapatkan kehidupan.

Astri Parawita Ayu

Dosen/Psikiater, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya

Peneliti, Nijmegen Institute for Scientist-Practitioners in Addiction, Radboud University, the Netherlands

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun