Mohon tunggu...
Paras Tuti
Paras Tuti Mohon Tunggu... Guru - Cakrawala Dunia Indonesia-Jepang

Kosong itu penuh. Dan, penuh itu kosong

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jawa dan Jepang, Sedenyut Sealiran

1 Januari 2014   17:48 Diperbarui: 4 April 2017   16:26 3326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percaya gak kalau Jawa dan Jepang itu sedenyut dan sealiran darah? Maksudnya, ada banyak persamaan baik dalam bahasa maupun cara pikirnya, setidaknya dalam pandanganku sebagai native Jawa yang saat ini sedang mendalami kejepangan.

Wong Jowo yang belajar bahasa Jepang pada awalnya pasti merasakan beberapa kemiripan antara Jepang dan Jawa ini. Misalnya, dalam hal hurufnya yang berbunyi sesuai dengan mora atau jumlah ketukan. Dalam pengajaran Bahasa Jepang tingkat awal, secara mudahnya huruf Bahasa Jepang di istilahkan dengan 「あかさたな」 "A, Ka, Sa, Ta, Na", untuk lebih memudahkan masuk dalam otak orang Jawa. karena ada kemiripan bunyi dalam huruf Bahasa Jawa "Ha Na Ca Ra Ka". Keduanya dituliskan tanpa spasi dan juga masing-masing memiliki "huruf dasar" yang kemudian ada beberapa perubahan untuk variasi bunyinya yang lain. Bedanya, huruf dalam Bahasa Jawa ini berasal dari suatu legenda "Aji saka". Sedangkan huruf kana bahasa Jepang dari huruf kanji yang disederhanakan.

Berkaitan dengan cara pikir antara Jawa dan Jepang ini aku tersadar, saat aku berkumpul dengan keluarga besar yang hampir semuanya orang Jawa saat mudik hari Raya tempo hari. Beberapa peristiwa yang tertangkap mata dan telingaku saat berkumpul dengan keluarga besar ini.

Dalam hal pemakaian bahasa halus dan gesture santun ini secara tidak sadar satu-satunya anak laki-lakiku menyadarkan aku kalau Jawa dan Jepang ini mirip. Maklum anak laki-laki, biasanya kasar dalam tingkah laku dan bahasa, apalagi dibesarkan dalam lingkungan Suroboyo-an. Dia meninggalkan Surabaya belum genap berusia 15 tahun. Dan semua orang, aku kira akan maklum jika dia berlaku kurang sopan dalam kacamata wong Jowo asli.

Suatu saat semuanya sedang duduk santai di bawah. Anak laki-laki ku harus melewati eyang bulik, eyang Ti, pak de, dan tantenya. Sangat mengejutkan mereka semua, karena dia mengangkat salah satu tangannya di depan hidung, tanda meminta ijin untuk lewat melangkahi orang-orang yang lebih tua yang sadang leyehan duduk di bawah.

Spontan eyang bulik (adik ibuku) berujar, “Wah hebat koe le, suwi neng Jepang kok isih eling adat Jowo”

Aku sempat tertegun, anakku langsung berucap, “Tidak eyang bulik, yang saya lakukan itu ya seperti biasanya anak-anak Jepang jika ingin minta jalan untuk lewat”

Ya, memang dalam adat Jepang, meminta jalan itu dinyatakan dengan bahasa tubuh mengangkat sebelah tangan di depan hidung. Sedangkan adat Jawa, menyulurkan tangan ke bawah. Baik dalam Jawa dan Jepang disertai dengan gesture sedikit membungkukan badan sedikit. Dalam bahasa Jawa disertai ucapan “nuwun sewu”, sedangkan dalam bahasa Jepang disertai ucapan ”sumimasen”

Minggu lalu saat diskusi dengan teman di kampus, smsku yang aku kirim untuk anak secara tidak sengaja, sempat terbaca teman kampus. Waktu itu aku cuman tulis "iyo". Eehh... si teman cewek Jepang itu nanya, 「いよ」ってインドネシア語?日本語と似ているね "iyo" tte Indonesiago? Nihongo to niteiru ne (emang itu Bahasa Indonesia? Mirip banget bahasa Jepang ya). Ya jelas ajalah si teman itu penasaran setengah mati, karena memang dalam bahasa Jepang ada 良いよii yo, yang biasa diartikan "Boleh kok, silakan" dalam ragam bahasa non formal, dalam formalnya berbunyi 良いですよii desu yo.

Menyoal ragam bahasa formal dan non formal, ada juga lho kemiripan antara Bahasa Kromo, bahasa Jawa, dan 敬語keigo, ragam Bahasa Halus, bahasa Jepang, tetapi pemakaiannya berbeda, saling bertolak belakang. Katanya di antara bahasa-bahasa yang ada di Asia yang memiliki ragam Bahasa Halus, hanya bahasa Jepang yang berbeda.

Untuk menentukan seseorang memakai Bahasa Halus ini baik dalam bahasa Jepang maupun Bahasa Jawa, di tentukan dengan cara mempertimbangan posisi diri dan lawannya. Dalam Bahasa Jepang jika lawanya dianggap 'orang luar', maka untuk membicarakan sesama 'orang dalam' 身内 Miuchi, dipakai 謙譲語 kenjogo (Bahasa kromo inggil versi Bahasa Jepang untuk merendahkan diri).

Beda akan halnya Bahasa Jawa, tidak memperdulikan yang dibicarakan itu "orang dalam" atau bukan, yang terpenting adalah orang yang dibicarakan itu lebih tua dalam usia kalender atau lebih dituakan dalam konteks status sosial masyarakat. Inilah bedanya, memang cukup membinggungkan pembelajar bahasa Jepang orang Indonesia terutama orang Jawa karena titik tolak berpikirnya berlawanan.

Dalam adat Jawa ada hitungan weton, di Jepang juga ada lhoo, tapi jumlahnya 6, di sebut 六曜, bukan lima seperti di Jawa. Sepertinya menghitungnya juga berbeda. Kalau dalam adat Jawa ada pon, wage, kliwon, legi, pahing. Sedangkan adat Jepang ada 先勝senshou, 友引 tomobiki, 先負senbu, 赤口akakuchi, 大安 taian, 仏滅 butsumetsu.

Masing-masing memiliki makna yang beda. Misalnya jika akan melakukan upacara kremasi jenazah, pasti dihindari hari 友引 tomobiki, karena memiliki 'menarik teman'. Jadi harus ditunda, tetapi beda untuk menentukan hari pernikahan 友引 tomobiki, dan 大安 taian'keselamatan besar' merupakan hari baik. Juga pada saat pindahan jika harinya jatuh pada 先勝senshou, maka pindahannya dilakukan sejak pagi, karena jika lewat siang hari bukan merupakan saat yang baik, berlawanan dengan 先負senbu, pindahannya dimulai pada sore hari.

Begitulah sekelumit Jawa dan Jepang yang ternyata sedenyut senadi. Pada beberapa bagian sama, tetapi karena sudut pandang beda, yang berbalik maknapun juga ada. Kalau tidak mendapatkan informasi yang cukup, pastilah akan kebolak balik memakainya.

Misalnya jika pembelajar bahasa Jepang yang orang Jawa itu, suatu saat bekerja di suatu perusahaan besar Jepang dan waktu terima telpon dia membahasakan bosnya dengan Bahasa Kromo Inggil yang terinterferensi cara pikir Jawa, bisa runyam. Dalam adat Jawa, si Boss harus dituakan dan biasanya dari status sosial masyarakatnya jelas si bossnya itu lebih tinggi dari si penelpon, jadi harus memakai Kromo Inggil. Tetapi dalam bahasa Jepang, berbalik. Jadi  kalau dia waktu menelpon itu memakai cara pikir Jawa, bisa-bisa dia dipecat, dianggap tidak sopan telah mencemarkan perusahaan karena tidak merendah diri terhadap lawan (perusahaan lain).

Suatu keharusan memakai bahasa yang merendah serendah-rendahnya karena lawannya adalah 'orang luar'. Tidak peduli kedudukan si penelpon hanyalah seorang pegawai rendahan sekalipun dalam perusahaannya. Sedangkan orang yang dibicarakan adalah Boss besarnya.

Jawa dan Jepang, yang sedenyut senadi, tapi juga tak sejalur sealiran. Hanya diperlukan kesadaran untuk terus mencari sebuah informasi  untuk bisa berinteraksi yang bernuah manis harmonis bagi pembelajar bahasa Jepang orang Indonesia atau pun pemerhati budaya Indonesia orang Jepang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun