[caption id="attachment_290703" align="aligncenter" width="300" caption="Torii, Gerbang utama dari kuil Shinto Ise Jingu, berbentuk pengulangan, dari dua pilar horizontal"][/caption]
Meniru, mengulang, terkesan adanya overlapping ini terlihat disegala sudut dan segi kehidupan sosial masyarakat Jepang. Apakah ini juga termasuk plagiasi yang melawan hukum? Bagaimana dampak positifnya? Ada dampak negatifnya gak ya.
Semua pertanyaan memenuhi isi kepala. Baiklah aku coba preteli satu persatu. Dalam bidang spiritualnya, seorang manusia Jepang bisa menjalani sesuatu yang overlapping pada keyakinan dalam kehidupannya. Lahir diberkahi ala Shinto, menikah di gereja, dan meninggal dikremasi biksu Budha. Itu sudah lumrah.
Orang Jepang terbiasa bekerja dengan 手引きte-biki/ manual book, bahkan suatu keharusan jika tak penuhi aturan dalam panduan itu, akan mengalami kerepotan diri sendiri. Kalau peraturan itu berhubungan dengan hal yang besar, misalnya peraturan lalu lintas, baguslah dan patut diacungi jempol.
Tetapi kalau masalah yang kecil-kecil hampir tanpa arti di mata kita, aduuuh,.. hanya mengelus dada melihat tingkah mereka. Tetapi, mungkin dari yang remeh menurut kita ini, jika dilakukan dengan cara pengulangan, akan menjadi sesuatu yang kokoh. Dan kenyataannya memang begitu.
Misalnya, ada rapat suatu kegiatan, (sebagai catatan: kegiatan yang akan diselenggarakan tidak besar sama sekali, karena hanya melibatkan 20 orang). Sudah susah payah memberikan ide, usulan agar lebih menarik dari tahun kegiatan yang sebelumnya,…eeehh ujung-ujungnya, pada hari pelaksanaannya kembali pada “catatan yang sebelumnya”.
Apakah mereka tidak mendengarkan usulan kita? Ternyata tidak. Mereka sangat memperhatikan dan mencatat semua usulan dengan rapi. Hanya, tidak mengubahnya saat itu juga. Mungkin usulan kita akan terealisasi 2, 3 atau bahkan 10 tahun yang akan datang.
Jadi, kegiatan itu tetap memakai frame yang sebelumnya, yang dianggap sudah memberikan bukti bisa terselenggara dengan baik selama bertahun-tahun. Kalau pun ada perubahan itu, hanyalah perubahan kecil sana-sini yang bagi kita tidak berarti sama sekali. Terlebih lagi jika mengingat waktu kita yang digunakan untuk menghadiri rapat itu. Untungnya, rapat itu mulainya selalu tepat waktu.
Mereka tidak akan dengan mudah mengubah pakem yang sudah diyakini bisa dipercaya dengan baik. Ya, pakem itu terbentuk berdasarkan catatan-catatan rinci dari penyelenggara sebelumnya. Wajib bagi panitia inti ini sebelum menggelar rapat umum, akan bertemu secara langsung dengan penyelenggara inti tahun sebelumnya.
Itu pasti dilakukan, untuk mendapatkan info dari yang kecil sampai permasalahan yang dianggap serius, mulai dari rapat awal sampai pembubaran panitia. Dan semuanya ada datanya, tercatat dengan rapi. Terprint dengan urut, terfile sesuai dengan kronologisnya.
Bagaimana dengan masukan saat rapat? Mereka simpan dan disampaikan pada yang lebih berwenang. Masukan itu di pelajari, jika dirasa baik, akan dilakukan pada kegiatan tahun yang akan datang. Bukan berupa masukan utuh, tapi sedikit demi sedikit, mungkin satu masukan yang kira anggap utuh itu, akan memakan waktu beberapa kali kegiatan yang sama. Oleh karenanya, perubahan suatu aturan itu tidak bisa ujug-ujug.
Bagaimana dengan kegiatan ilmiah? Walaupun ‘pengulangan’ itu beda tipis dengan plagiasi, mereka tidak menganggapnya demikian. Yang dilakukan adalah memperdalam penelitian sebelumnya. Atau mengembangkan penelitian berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Kenapa begitu? Hukum berperan besar. HAKI dilindungi hukum.
Seseorang yang menemukan suatu penemuan, didukung semua pihak untuk mendapatkan hak patennya dan dilindungi penuh. Alasannya, karena adanya suatu anggapan, bahwa suatu penemuan itu pasti sudah dilakukan dengan pengamatan yang detail. Direstui oleh seseorang yang berwenang, maka tingkat kepercayaan akan sebuah penemuan itu bernilai tinggi. Semua orang menghormatinya, dengan cara tidak membajaknya.
Untuk menemukan sesuatu, seseorang dituntut untuk beda dari komunitasnya. Oleh karenanya jika ada orang yang mampu keluar dari kelompoknya untuk menjadi pembeda, dia akan dianggap pahlawan dan dipublikasi besar-besaran sampai ke pelosok dunia.
Banyakkah orang semacam itu? TIDAK, hanya sedikit saja. Karena untuk bisa mencapai itu, orang tersebut harus mau menjadi beda dengan yang lain. Padahal menjadi beda itulah yang ditakutkan oleh kebanyakan orang Jepang. Karena pada dasarnya homogenitas itu lebih mendominasi.
Sering kita mendengar Jepang si peniru ulung. Kenapa begitu, mereka akan lebih percaya dengan barang yang sudah jadi. Sesuatu yang sudah itu dipelajari, di teliti, dicermati dan dikembangkan dengan seksama. Kalau hal ini, kayaknya kita tidak perlu meragukannya. Karena orang Jepang itu sangatlah telaten mengerjakan satu titik pekerjaan dan sabarnya setengah mati. Maksudnya, mereka tidak pernah bosan menghadapi suatu kegagalan, akan terus dicoba dan dicoba lagi.
Hanya cara menirunya lebih halus dan lebih elegan. Jadi tujuannya meniru, menurut mereka, hanya untuk mencari pijakan pada dasaran yang sudah terbukti ada wujudnya.
Dan memang pada kenyataannya mereka cenderung untuk menjadi engineering. tukang insinyur yang lebih mengkhususkan mengerjakan sesuatu dari buah pikir seorang perancang.
Merasa lebih bangga dan haru, pada slogan bangsa kita, “Beda Itu Indah”, karena dengan itu akan melahirkan manusia-manusia yang berkreatifitas tinggi, yang sebetulnya bisa menjadi designer dalam bidang apa saja. Dan berharap slogan ini berjalan pada relnya. Tantangan bagi kita untuk mensosialisasikan keselarasan pada pemahaman slogan “BEDA itu INDAH” dan “BEBAS yang BERTANGGUNG JAWAB”. Dengan begitu optimis dalam diri semakin besar dan merasa pasti, negaraku tercinta akan melaju mendahului Jepang si macan Asia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H