Mohon tunggu...
Paras Tuti
Paras Tuti Mohon Tunggu... Guru - Cakrawala Dunia Indonesia-Jepang

Kosong itu penuh. Dan, penuh itu kosong

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

5 Kunci Membuka Gembok Interaksi Orang Jepang

8 Januari 2014   23:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:00 2122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389207674947981396

[caption id="attachment_314692" align="aligncenter" width="490" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Keharmonisan adalah kunci besar dalam segala kunci untuk membuka gembok sukses berinteraksi dengan orang Jepang. Dan sebetulnya hal ini merupakan sifat universal yang dimiliki oleh bangsa mana pun. Dalam arti, tidak hanya Jepang, tetapi dari negara lain juga memiliki pandang-pandangan demikian. Tetapi yang menjadi pembedanya adalah, beberapa ungkapan dalam Bahasa Jepang yang menyertai konsep Keharmonisan tersebut.

Bagimana keharmonisan dalam berinteraksi dengan orang Jepang ini agar tetap terjaga? Diperlukan beberapa kesadaran yang harus dimiliki masing-masing personil yang akan terlibat dalam interaksi tersebut. Diantaranya seperti berikut .

a. 自己と他者の区別を認職する (jibun to tasha no kubetsu o ninshiki suru). Dalam berkomunikasi, harus ada kesadaran bahwa diri pribadinya berbeda dengan pribadi orang lain. Dengan adanya pemikiran ini diharapkan tidak menuntut yang berlebihan dengan cara membandingkan diri sendiri dan orang lain.

b. 相手にも五分の理を認める (aite ni mo gobu no ri o mitomeru). Dengan saling memahami satu dengan yang lain, orang akan sadar baik pada kekurangan diri mau pun pada kemampuan orang lain. Dengan begitu bisa belajar dari orang lain pada sisi baiknya.

c. 相手を重視する (aite o juushi suru) menghargai pihak lawan. Dengan saling menghargai, saling memberi perhatian akan lebih mempertinggi kualitas komunikasi.

d. 相手の立場に身に置く(aite no tachiba ni mi ni oku) dengan cara selalu meletakkan diri sendiri pada posisi pihak lawan, akan lebih mudah menyelami kondisi lawan. Dengan begitu diri kita lebih mudah memperbaiki diri sendiri dengan cara mempelajari kekurangan pada pihak lawan, karena hal-hal berupa masalah yang tadinya tidak tampak, akan tampak jika kita melihat diri orang lain, jadi kita lebih bisa instropeksi diri.

Menurut penulis yang paling susah dilakukan oleh orang Jepang adalah point nomer 1. Kenapa? Ya! Karena mereka terbiasa seragam dalam segala hal. Misalnya, kondisi sekolah dari kota besar sampai kota metropolitan itu sama semua dalam segala hal, misalnya pengadaan buku pegangan siswa, fasilitas penunjang belajar dlsb. Faktor keseragaman ini yang menjadikan manusia Jepang tidak terbiasa menerima perbedaan orang lain

Kemudian, seperti yang telah diutarakan di atas, yang menjadi pembeda dengan cara pikir bangsa lain adalah, adanya "Ungkapan Perasaan Hati" yang wajib diperhatikan bagi orang yang akan berinteraksi dengan orang Jepang. Diistilahkan denga日常の五心 nichojou no itsutsu kokoro, "perasaan hati yang dipakai dalam interaksi keseharian". Mari kita uraikan satu persatu.

1.「はい」という素直な心 (’hai’ to iu soujiki na kokoro), Mengucapkan “Hai” yang berarti “ya”, merupakan ungkapan kepolosan hati pada saat merespon suatu pembicaraan pada saat komunikasi berlangsung.

Mereka akan mengucapkan dengan tegas dan keras, apalagi setelah menerima suatu pujian atau suatu pertanggung jawaban kerja. Dalam kebiasaan orang Indonesia, “Baik” atau “Siap”, ini mungkin menjadi padanan kata yang tepat.

2.「すみません」という反省な心 (‘sumimasen’ to iu hansei na kokoro). Mengucapkan “sumimasen” yang berarti “maaf”, merupakan ungkapan penyesalan hati pada saat komunikasi hasil dari instropeksi diri perenungan diri pada saat merespon suatu pembicaraan pada saat komunikasi berlangsung.

“Sumimasen” ini ternyata tidak hanya dipakai dalam konteks kesalahan yang mengakibatkan kerugian atau beban lawan. Tetapi juga dipakai pada konteks untuk menyatakan “terima kasih”, karena orang Jepang menganggap menerima sesuatu yang biasanya orang Indonesia hanya mengucapkan “Terima kasih” itu berbeda bagi orang Jepang. Bagi orang Jepang menerima pemberian dari seseorang itu adalah beban hutang yang harus dikembalikan, jadi cukup membuat lawan terbebani.

3.「おかげさまで」という謙虚な心 (‘okage sama de’ to iu kenkyo na kokoro). Mengucapkan “okage sama de” yang berarti “berkat anda semua”, merupakan ungkapan kepasrahan hati dan kerendahan diri untuk lebih menghormat lawan bicara pada saat merespon perhatian yang diterima dari orang lain sewaktu komunikasi berlangsung.

Dalam Bahasa Indonesia, lebih tepat diterjemakan bebas dengan selalu melibatkan atas nama nama Tuhan. Seperti berikut “Berkat doa anda semua dan kehendak dari Yang kuasa”. Karena pada dasarnya semua kegiatan ataupun ucapan orang Indonesia berdasarkan pada KeTuhanan. Sebaliknya hal seperti ini, tidaklah bisa diterima alam pikir orang Jepang.

4.「私がします」という奉仕の心 (’watashi ga shimasu’ to iu houshi no kokoro). Mengucapkan “watashi ga shimasu” yang berarti “saya yang akan mengerjakannya”, merupakan ungkapan ketulusan & keiklasan hati pada saat merespon setelah melakukan suatu perbuatan yang ditawarkan dari orang lain yang dianggapnya sebagai bentuk pelayanan. Ungkapan ini sebetulnya akan sulit sekali diutarakan. Karena terikat dengan sebuah tanggung jawab

Dalam konteks budaya Indonesia ini dianggap sebegai suatu penawaran untuk membantu atau merelakan diri untuk mengerjakan sesuatu. 5. 「ありがとうございます」という感謝の心 (’arigato gozaimasu’ to iu kansha no kokoro). Mengucapkan “arigatou gozaimasu” yang berarti “terima kasih sebanyak-banyaknya”, merupakan ungkapan pernyataan terima kasih pada saat menerima sesuatu baik barang atau pun perlakuan dari orang lain.

Kalau kita mencoba menilik dari asal usul kata “arigatou gozaimasu” ini, mungkin akan bisa mengenal Jepang lebih dalam lagi. Dalam ucapan “arigatou gozaimasu”, ada unsur kosa kata “katai” yang berarti "susah atau alot". Jadi agar tidak mengumbar kata yang ‘alot’ ini sebisa mungkin tidak membuat perbuatan yang bisa mengakibatkan dirinya harus membalas atau mengembalikan hutang. Karena bagaimana pun juga menerima itu harus dikembalikan sesuai dengan bobot yang pernah diterimanya.

Bahkan ada orang Jepang pemerhati Indonesia yang sudah puluhan tahun bergaul dengan alam dan orang Indonesia. Dia sempat mempertanyakan asal usul "terima kasih" dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan harus mengembalikan yang telah diterima, ada suatu nada protes pada kata "terima kasih" ini. Menurut beliau, kata "terima kasih" ini, seolah-olah si pemberi ini memaksa lawannya untuk menerima sesuatu dari pembicara. Padahal bagi orang Jepang, "menerima" itu sama dengan menanggung beban. Yah itulah seni berinteraksi.

Panduan-panduan di atas pada dasarnya seseorang diharapkan banyak mempelajari diri sendiri, merendahkan hati, agar bisa lebih menghormat lawan bicara pada saat komunikasi berlangsung. Dengan begitu, rasa saling menghargai dari kedua belah pihak akan muncul secara alami. Inilah yang dinamakan keharmonisan dalam berkomunikasi dalam interaksi dengan orang Jepang.

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Saya menyakininya, kita memiliki keharmonisan itu lebih tinggi dan dan lebih bernilai, karena kita lebih kaya daripada Jepang. Dengan begitu logikanya, kita telah lebih banyak berlatih daripada orang-orang Jepang itu untuk mencapai suatu keharmonisan dalam berinteraksi tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun