Mohon tunggu...
Paras Tuti
Paras Tuti Mohon Tunggu... Guru - Cakrawala Dunia Indonesia-Jepang

Kosong itu penuh. Dan, penuh itu kosong

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenapa Mereka Bangga Menjadi Orang Jepang, saat Antri

7 Mei 2014   15:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi - Antrian pengunjung menunggu pembukaan toko H&M di mal Gandaria City Jakarta, Sabtu (5/10/13). (Kompas.com/K.Wahyu Utami)"][/caption]

“Saya merasa bangga menjadi orang Jepang sejati, saat bisa merasakan nyaman di tengah antrian panjang.” Itu salah satu jawaban orang Jepang, saat ditanya, “Faktor apa yang menjadikan diri Anda, merasa sebagai orang Jepang sejati?”

Aneh juga, mengantri kok merasa bangga. Apa mereka kelebihan waktu gitu, kok mau-maunya mengantri. Dan anehnya juga, kok ya gak ada yang saling teriak atau nyeletuk “Mas/Mbak tolong antri dulu ya.” Dan satu lagi, jarang sekali saya menemui orang yang mengeluh saat antri.

Berikut ini ada beberapa pengalaman pribadi yang sehubungan dengan antri-mengantri itu. Golden Week baru saja berlalu. Golden Week tahun 2014 ini dimulai tanggal 26 April sampai 5 Mei. Bagi pekerja ini adalah hadiah besar, karena ada yang libur selama 10 hari penuh. Di Prefetur Aichi, ibu kotanya Nagoya ini yang merupakan pusat industri mobil Toyota banyak yang libur 10 hari. Kalender Toyota mengikuti pola libur 10 hari, panjang banget, dengan konsekuensi, tidak ada libur lagi, walau penanggalan tertulis merah, kecuali Sabtu Minggu, sampai bulan Agustus (liburan O-Bon) mendatang.

Selama Golden Week ini saya sempat mengamati, mengapa mereka bisa merasa nyaman saat antri. Dan terlebih lagi mengapa mereka merasa bangga menjadi orang Jepang saat antri. Berikut ini pengalaman saya selama Golden Week mengamati perilaku orang Jepang itu.

Memperpanjang SIM

Menemani suami memperpanjang SIM ini, pengalaman pertama bagi saya. Suami sudah wanti-wanti untuk berangkat awal, katanya malas antri. Pagi, pukul 08:15, sudah sampai di tempat ujian SIM Hirabari. Awalnya sempat terheran-heran. Loket baru buka pukul 09:00, kenapa sudah mengular kayak gitu. Untung kita segera tahu, di mana ujung ekor antriannya ini dengan ditandai petugas yang membawa plang.

Saat antri ada satu petugas lain yang khusus berjalan hilir-mudik sepanjang antrian untuk menjelaskan apa-apa yang perlu diserahkan ke petugas loket dan harus sudah dalam keadaan kepegang tangan. Dengan sabar dan telaten menjelaskan, jika ada yang bertanya. Ini yang menjadikan nyaman, si penanya tidak perlu teriak-teriak karena si petugas juga tidak berdiri pada satu tempat.

Antara percaya dan tidak percaya, baru saja pantat ini saya taroh duduk manis untuk membuka beberapa halaman novel, antrian sudah melaju. Tenang dan nyaris tanpa suara. Dan dalam 30 menit antrian yang mengular sudah bubar menuju pada masing masing loket selanjutnya sesuai dengan keperluan.

Mao chan, sang Maestro Ice Skating.

Pernah dengar Asada Mao? Atlet Ice Skating yang cantik dan masih berusia 23 tahun. Sekarang kuliah tahun terakhir di PT swasta, Chukyo Univ di kota kelahirannya Nagoya. Walaupun gagal meraih medali emas di Olimpiade musim dingin Sochi, tetapi cara dia membangkitkan semangatnya saat dia gagal, sangat menginspirasi orang Jepang.

Lha karena ada kabar burung dia akan menggantungkan sepatu Ice Skating-nya, semua menjadi heboh. Saat dia menggelar pameran yang bertajuk “SMILE”, orang berbondong untuk melihatnya. Karena saya juga sangat menyukai Mao-chan ini, pergilah kami berdua di awal Liburan Golden week. Pameran diselenggarakan di gallery Department Store Takashimaya di Nagoya Station lantai 10.

Menurut pamflet, sebetulnya yang dipamerkan tidak begitu banyak, oleh karenanya hanya diadakan di ruang gallery. Masuk Ruang pameran tidak dipungut biaya. Baju-baju dan sepatu-sepatunya saat dia bertanding sejak pertama ditata dengan indah. Yang bikin orang tertarik datang melihatnya adalah, kesan dan pesan yang tertulis pada masing-masing baju dan sepatu yang dipamerkan tersebut.

Begitu nyampe di lantai 10, ya Ampun, antriannya. Akhirnya saya bertanya pada mbak-mbak petugas yang memegang plang. Tertulis angka 40 menit. Jadi artinya saya harus menunggu selama itu. Saya tanya "Apakah angka ini akurat?” “Ya, bisa dipastikan itu,” jawab petugasnya. Huwah-huwah, saya langsung ngeloyor pergi. Beberapa orang melirik, dengan santainya mereka terlihat menikmati antrian itu sambil membaca buku dan memegang gadget-nya.

Mengapa mereka terlihat bisa menikmatinya? Ya, karena adanya keterpercayaan yang tinggi pada pesan yang tertulis di plang tersebut. Dan yang terpenting lagi, orang yang baru datang, bisa langsung melihat info yang tertulis tanpa bertanya lebih dahulu. Dengan begitu, saat itu juga bisa memutuskan untuk terus mengantri atau membatalkan niatnya.

Sushi yang dinanti-nanti

Sudah tahu khan Sushi? Makanan tradisional, nasi kepal yang di atasnya ditaroh ikan mentah (Artikel tentang sushi: Ikan Mentah Sushi,…Kenapa Tidak?). Sushi ini sudah menjadikan agenda bagi kami, paling tidak sebulan sekali untuk menikmatinya.

Yang mengherankan bagi saya, restoran sushi itu khan banyak banget. Di mana-mana ada. Tetapi orang Jepang itu kalau sudah merasa sreg pada yang satu itu, enggan untuk berpindah ke lain hati. Jadinya lebih baik antri dan akan merasa puas jika berhasil makan dengan antrian panjang.

Kenapa begitu? Ada sesuatu kebanggaan juga, jika orang lain mengantri, berarti jaminan bahwa restoran itu baik dan enak. Dan bangga juga jika dirinya merasakan yang banyak orang juga menikmatinya. Jadi mereka terbiasa juga menunggu sejam-dua jam. Aneh juga sih, mengingat mereka biasa juga berlari-larian mengejar jam kereta dan bis, tapi bisa sabar menunggu berjam-jam untuk merasakan yang banyak orang lakukan.

Oh ya saya teringat sesuatu. Salah satu TV swasta menayangkan acara tentang “Pelayanan baru dalam sebuah restoran". Salah satunya adalah, jika calon pengunjung itu mau membayar 100 Yen (harga makanannya paling rendah 700 Yen), mereka akan dipersilakan maju pada antrian awal.

Apa reaksinya? Hanya 3 dari 10 orang yang mau. Sempat terheran-heran saya dibuatnya waktu menonton acara itu. Itu pun salah satu alasannya kenapa mau membayar lebih adalah, karena dia punya janji mendadak yang mepet-mepet. Alasan orang-orang yang tidak mau, karena tidak enak, merasa diperlakukan beda, nah lhoo, cuman melongo saya dibuatnya.

Antrian pola garpu di lobby toilet

Kalau bicara tentang toilet, memang Jepang ini kayaknya surganya. Bersih harum, dan banyak yang bergaya seperti lobby hotel (Artikel tentang toilet: Benjo Meshi, sisi Negatif Menjaga Kebersihan WC). Antrian pola ini yang sempat menyadarkan saya, bahwa saya sudah berada di tanah air tercinta, saat antri toilet di bandara, beberapa tahun silam.

Apa antrian garpu itu? Antrian tidak menunggu di depan masing-masing pintu toilet. Tetapi, mengantri dengan satu lajur berapa pun jumlah toiletnya. Misalnya ada 10 pintu, maka satu per satu maju, begitu ada pintu yang terbuka. Tetap dalam satu lajur, bukan mengantri dengan 10 jalur. Sistem seperti ini sepertinya seragam, dengan begitu tidak ada orang yang berjubel persis di depan pintu toilet. Dan bisa dipastikan menjadi lebih cepat.

Jadi faktor-faktor inilah yang merupakan salah satu penyebab orang Jepang merasa bangga menjadi orang Jepang, saat mengantri. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) layanan yang baik, (2) keterpercayaan yang tinggi, (3) informasi yang tertulis, (4) sistem yang seragam. Yang tertulis di artikel ini hanyalah beberapa hal yang sempat tertangkap. Mereka merasa, sesama orang-orang yang antri, sama-sama merasa mendapatkan keadilan yang sama. Hal itu membuatnya merasa bangga menjadi orang Jepang. Semua yang tertulis bukanlah untuk semata-mata ditiru bulat-bulat, karena Indonesia dan Jepang adalah beda dalam segala hal. Cukup untuk bisa menjadikan sebuah inspirasi bagi kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun