Beberapa hari ini, bahkan sampai detik ini, masih hangat perbincangan tentang Bu Susi. Ya, beliau adalah Menteri KKP kita yang baru dalam Kabinet Kerja periode 2014 - 2019.
Apa pasal beliau jadi trending topik dumay? Karena beliau cuma lulus SMP, tatoan, perokok, punya suami WNA, dan dengan atribut seperti itu, beliau menjadi Menteri. Luar biasa, bukan?
Bermacam komentar berdatangan, mulai dari mempertanyakan kompetensi, membully, hingga ada yang membela dan mendukung. Sah-sah saja. (asal ga pake edit gambar porno y, hati2...heuheu)
Tapi ada yang menggelitik dari dialektika tentang Ibu Susi ini, yaitu pembelaan yang bersifat justifikasi. Oia, saya membatasi pada poin-poin justifikasi terhadap background pendidikan-formal (selanjutnya saya sebut ‘pendidikan’ saja) beliau.
1.Lulus SMP saja bisa jadi menteri, apalagi kalo lulus SMA atau bahkan punya gelar S1, S2, S3?
2.Lulus SMP aja bisa beli pesawat, punya perusahaan, bisa gaji pilot. Kalian yang S1 (atau S2, S3) kalo masih jadi karyawan, ngontrak, mobil kredit (jangankan mobil, motor saja kredit), jangan sok nasehati.
Well, 2 poin itu saja sudah cukup menohok bagi saya, yang saya syukuri bisa menempuh jenjang lebih tinggi dari Bu Susi. Oke, mari kita bedah apa itu pendidikan dan eksesnya, menurut opini abal-abal ala saya tentunya.
Pertama, pentingya pendidikan. Betul, bahwa pendidikan tidak menjamin kesuksesan (materi) seseorang. Tapi apa itu menjadikan pendidikan tidak penting (kurang penting)? Pasti jawabannya: masih dan akan selalu penting. Kenapa? Pendidikan adalah katalis. Dengan mengenyam pendidikan, kita dikarbitkan untuk disiplin, konsekuen, toleran, dan tentu mendapat ilmu pengetahuan.
Kedua, tujuan pendidikan. Ini yang menurut saya banyak di salah artikan. Ya, tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk mencari materi kan? Atau masih banyak yang berpikir seperti itu? Wah, kemungkinan besar Anda salah mencari guru. Heheheheh. Mengutip dari ucapan dosen saya:
“Tujuan akhir dari pendidikan adalah sikap hidup”
-Samsul Maarif-
Apa itu sikap hidup? Gampang: buang sampah pada tempatnya, merokok pada area yang disediakan, tertib aturan, nyebrang di zebra cross, dsb. Kalo mau lebih keren y, sistematis, rasional, bertanggung jawab, dsb. Itu cara gampang deteksi mana orang berpendidikan dan tidak. Ala saya.
Oia, untuk penutup. Saya sih berharap, sudahi aja obrolan tentang Bu Susi ini. Jangan sampai jadi bahan diskusi adik-adik pelajar SMP/SMA. Saya takutnya mereka berpikir tidak harus sekolah untuk jadi orang sukses. Cukup berita remeh temeh seperti ini.
Sebagai catatan tambahan kepada Bu Susi: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Bu.
Salam Ngawur.
Kawasan Sudirman, 30 Okt 2014
-TYP-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI