September ini Indonesia memasuki deflasi bulan ke lima secara berturut-turut sejak Mei 2024. Â Angka deflasi ini semakin mendalam sebagaimana terpantau oleh BPS, yaitu sebesar 0,03% pada bulan Mei, 0,08% pada Juni, 0,18% pada Juli, 0,03% persen pada Agustus, dan 0,12 pada bulan September.Â
Deflasi beberapa bulan secara berturut-turut adalah tanda adanya sesuatu yang salah dalam perekonomian Indonesia saat ini. Â Para pakar mulai menyerukan alarm kewaspadaan lantaran bila berlarut-larut, disinyalir deflasi dapat menjurus kepada resesi.
Meski belum secara resmi memasuki resesi, lesunya kondisi perekonomian menjadi bahan pembicaraan hangat baik di media massa maupun dalam kehidupan sehari-hari. Â Anak-anak kita pun mungkin sudah mulai melihat dan merasakan berbagai perubahan, bahkan bertanya tentang hal-hal yang terkait dengan kondisi ekonomi saat ini.Â
Tidak semua orang tua memiliki latar belakang di bidang ilmu ekonomi sehingga bisa menjelaskan kondisi ini secara memadai. Padahal, justru saat ini adalah momen yang tepat untuk membahas tentang uang dan ekonomi karena menjadi topik yang penting dan  kontekstual.  Hal tersebut juga dapat membuat anak lebih siap dan merasa memiliki kontrol atas situasi sehingga tidak mudah cemas.
Lantas, bagaimana orang tua dapat menjelaskan kondisi perekonomian saat ini secara sederhana ? Â Bagaimana konsep resesi yang relatif rumit dapat dijelaskan tanpa memicu kekhawatiran yang berlebih dalam diri anak ?Â
Meskipun tak secara khusus mengenyam pendidikan di bidang Ilmu Ekonomi, belakangan saya memaksa diri untuk mempelajarinya demi bisa mendampingi anak-anak untuk lebih memahami situasi saat ini dan membangun ketangguhan mereka dalam berhadapan dengan krisis. Â Berikut ini beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan para orang tua di kompasiana dalam memberikan penjelasan tentang kondisi perekonomian saat ini kepada anak-anak.
Menjelaskan dengan Jujur dan Tenang
Kebanyakan anak pada usia sekolah dasar belum memiliki pemahaman tentang kondisi makro di luar rumah dan lingkungan terdekatnya. Â Mereka melihat orang tua sebagai sumber informasi utama yang menjadi acuan bagaimana merespon keadaan. Â Oleh karena itu orang tua perlu untuk menghindari menularkan kekhawatirannya kepada anak-anak. Â Anak bukan hanya belajar dari apa yang dikatakan oleh orang tuanya namun juga dari sikap dan emosi orang tua.
Kuncinya adalah memberikan penjelasan dengan tenang dan apa adanya disertai dengan afirmasi positif. Â Yakinkan anak bahwa orang tua akan berusaha yang terbaik dan semuanya akan baik-baik saja.
Orang tua dapat menyampaikan bahwa saat ini harga barang-barang naik dan uang yang dimiliki oleh orang tua tak sebanyak dulu. Oleh karena itu ada hal-hal yang harus dikurangi atau ditunda.Â
Siapkan kegiatan yang lebih ramah di kantong, misalnya berhenti sementara dari les bola dan sebagai penggantinya menemani anak bermain bola di lapangan sekitar setiap akhir minggu. Â Atau, mungkin mengurangi nonton film di bioskop dan menggantinya dengan nonton film bersama melalui saluran berbayar pada akhir minggu.Â
Orang tua juga perlu menekankan pentingnya saling membantu dan lebih saling menyayangi satu sama lain. Â Misalnya, anak perlu membantu melakukan pekerjaan rumah yang sederhana karena sekarang kesibukan orang tua bertambah dengan pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Sampaikanlah penjelasan tersebut dengan tenang dan bebaskan anak untuk menyampaikan pertanyaan, pendapat dan perasaannya. Selalu sertakan alternatif solusi di mana mereka dapat berpartisipasi sehingga anak akan memiliki keyakinan bahwa ia pun bisa membantu situasi agar lebih baik.Â
Menjelaskan tentang Kelesuan Ekonomi dan Resesi
Menginjak usia belasan, anak mungkin mulai bertanya tentang fenomena yang lebih luas, misalnya mengapa harga-harga naik, mengapa banyak perusahaan tutup, dll. Â Ini adalah kesempatan yang baik untuk mengajak anak memahami lebih jauh tentang uang dan ekonomi melalui terminologi sederhana yang sesuai tingkat pemahaman mereka.
Orang tua dapat mengawali penjelasannya secara sederhana tentang ekonomi. Â Setiap hari orang-orang menjual dan membeli barang dan jasa, itulah ekonomi. Â Semakin banyak jual beli dilakukan, semakin baik perekonomian. Â Dalam kondisi ini perekonomian bertumbuh positif.
Namun demikian, ekonomi tidak selalu berjalan dengan baik. Â Terkadang harga-harga jatuh karena orang-orang tidak mampu membeli. Â Ada banyak hal yang berpengaruh terhadap kemampuan orang-orang untuk membeli barang/jasa. Â Misalnya biaya pendidikan, pajak, dll. Â Ketika harga barang-barang jatuh, hal itu membuat perusahaan rugi, pabrik tutup dan orang-orang kehilangan pekerjaan; itulah situasi ekonomi yang buruk.
Dalam situasi ekonomi yang memburuk, kenaikan harga pangan, transportasi, perumahan akan membuat orang-orang mengurangi belanjanya. Â Hal itu mengakibatkan efek beruntun seperti penutupan sektor usaha, PHK besar-besaran, dll. Â Bila situasi tersebut terus berlanjut selama beberapa bulan berturut-turut, maka keadaan itu disebut dengan resesi.Â
Penyebab Resesi dan Siklus Perekonomian
Dinamika perekonomian kadang naik kadang turun. Â Itulah yang disebut dengan siklus ekonomi. Â Di masa lalu perekonomian dunia sudah mengalami resesi berkali-kali. Â Demikian pula di Indonesia.. Â Kabar baiknya, biasanya resesi itu hanya sementara. Â Pada akhirnya situasi berangsur-angsur membaik dan kembali pulih.
Resesi bisa terjadi karena berbagai sebab. Â Salah satunya adalah karena peristiwa besar yang tiba-tiba terjadi dan mengakibatkan kejutan/Â shock ekonomi. Â Pandemi covid 19 adalah salah satu contoh peristiwa yang memicu terjadinya resesi. Lock down di berbagai negara membuat perusahaan tutup, orang-orang kehilangan pekerjaan dan ekonomi terhenti.Â
Terjadinya perang juga dapat memicu kejutan ekonomi yang mengakibatkan resesi. Â Seperti perang antara Ukraina dengan Rusia yang masih terjadi saat ini juga sempat menyebabkan melambungnya harga bahan bakar, kelangkaan pupuk dan tersendatnya pasokan gandum.
Untuk mempermudah pemahaman anak, shock ekonomi bisa dianalogikan dengan sebuah balon yang tiba-tiba meletus atau seorang badut yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Â Hal itu tentu akan membuat seseorang terkejut. Â Jantungnya berdebar-debar, dan membuatnya terdiam beberapa saat sebelum ia bisa kembali pada respon yang normal. Â Demikian pula dengan perekonomian.Â
Resesi juga bisa terjadi akibat perekonomian yang tumbuh terlalu cepat (overheated economy). Dalam keadaan di mana ekonomi tumbuh dengan cepat, orang-orang memiliki daya beli yang besar. Â Hal itu menciptakan permintaan besar terhadap barang dan jasa melebihi kemampuan produksi perusahaan. Â Akibatnya, barang-barang menjadi langka di pasar dan harga-harga melambung tinggi.Â
Orang-orang yang penghasilannya sedikit tidak lagi bisa membeli barang-barang kebutuhan hidupnya. Â Maka terjadilah inflasi. Inflasi tak terkendali akan membuat mesin ekonomi kepanasan dan akhirnya terjadi resesi.
Orang tua dapat memberi contoh dengan barang-barang yang dikonsumsi setiap hari. Â Misalnya minyak goreng. Â Ketika semua orang ingin membeli minyak, maka toko-toko kehabisan minyak dan harganya menjadi naik. Â Ketika harganya naik, uang yang dimiliki oleh masyarakat tidak lagi cukup untuk membelinya.
Ketika mesin ekonomi kepanasan, ia membutuhkan waktu untuk mendinginkan dan membuatnya kembali berfungsi dengan normal. Â Hal itu seperti ketika seseorang berlari terlalu kencang maka ia akan kehabisan tenaga, kelelahan dan membutuhkan istirahat beberapa saat.
Bagaimana Bersiap Menghadapi Resesi
Jelaskan pada anak bahwa kita memang tidak bisa mengontrol situasi perekonomian dunia. Namun kita bisa mempersiapkan diri kita menjadi lebih tangguh sehingga tak terdampak terlalu banyak oleh resesi. Â Seperti hujan badai yang tidak bisa kita cegah namun kita bisa mempersiapkan diri dengan membaca tanda-tanda dari mendung, mempersiapkan payung dan berteduh sehingga tak terlalu merugikan kita.
Dari sini, orang tua dapat menekankan tentang pentingnya sedia payung sebelum hujan. Â Orang tua dapat memanfaatkan momen ini untuk mengajak dan meneguhkan kebiasaan-kebiasaan positif yang membangun ketangguhan ekonomi seperti: kebiasaan berhemat, menabung, gaya hidup sederhana, kewirausahaan dan menghindari hutang konsumtif (untuk anak remaja dan jelang dewasa), dll.Â
Wasana Kata
Di tengah situasi ketidakpastian ekonomi saat ini sering membuat orang tua menjadi terlalu sibuk dalam pergulatannya sendiri khususnya dalam upaya mencukupkan kebutuhan keluarga. Â Alih-alih menyikapi situasi ini secara negatif, orang tua dapat memanfaatkan momen ini untuk secara nyata mengajarkan kepada anak-anak tentang sikap dan ketangguhan dalam menghadapi krisis. Â Sebuah skill yang akan sangat berharga bagi masa depan mereka. Â
Menjelaskan tentang konsep ekonomi ke pada anak-anak memang bukan hal yang mudah. Â Demikian pula mencari terminologi yang sederhana dan aplikatif sehingga mudah untuk dipahami oleh anak-anak. Â
Upaya membangun ketangguhan anak di bidang finansial ini butuh transfer pengetahuan, namun yang jauh lebih penting (dan sulit) dari itu adalah membangun mentalitas, sikap dan karakter yang mampu untuk menunda kenikmatan (delay gratification) demi hasil yang lebih baik di masa depan.Â
Melek keuangan saja tidak cukup. Â Ketangguhan finansial di masa depan lebih membutuhkan karakter yang tekun dan bersedia bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.Â
Sharing sederhana ini tentunya masih mengandung banyak kelemahan.  Kompasianer jangan ragu untuk mengkoreksi atau sekedar memberikan tanggapannya untuk perbaikan di masa depan, ya.  Wasana kata, semoga sharing ini bermanfaat dan selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H