Belakangan ini sepertinya kita semua dihantui oleh sebuah pertanyaan: apakah kita berada dalam resesi?Â
Meskipun secara definisi dikatakan bahwa Indonesia belum memasuki resesi, namun kita menyaksikan berbagai gejala pelambatan ekonomi seperti: kenaikan harga kebutuhan pokok, banyaknya penutupan perusahaan yang diikuti dengan PHK masal, tingginya angka pengangguran, sulitnya mencari pekerjaan, dll.
Tak sedikit keluarga yang terdampak langsung oleh kelesuan perekonomian saat ini. Â Kisah tentang driver ojol yang meninggal saat menunggu orderan, ibu yang bunuh diri lantaran tak bisa membayar hutang adalah sebagian kecil dari contoh nyata bagaimana situasi perekonomian saat ini memberikan tekanan yang hebat kepada keluarga-keluarga di Indonesia. Â Selain kedua contoh tersebut, banyak juga yang kehilangan pekerjaan, harus berganti mata pencaharian ataupun harus mengambil pekerjaan sampingan demi bisa menutup kebutuhan hidup.
Para orang tua tentunya berusaha sebaik-baiknya agar kelesuan ekonomi tidak berdampak negatif terhadap dinamika di dalam keluarga. Mereka bisa saja berusaha beraktivitas normal seolah-olah tak ada yang salah dengan dunia saat ini. Â Namun tak dapat dipungkiri bahwa resesi (atau apapun namanya situasi ekonomi kita saat ini) sebenarnya memiliki efek yang mendalam pada dinamika dan interaksi sehari-hari di antara para anggota keluarga.Â
Berbagai kajian menunjukkan bahwa berkurangnya pendapatan rumah tangga menciptakan resiko gangguan kesehatan mental pada anak akibat meningkatnya tekanan ekonomi terhadap keluarga, perubahan negatif dalam stabilitas mental orang tua, hubungan antara suami istri, dan kualitas pengasuhan.Â
Dalam situasi sarat ketidakpastian, orang tua sering kali terjebak dalam pergulatannya sendiri sehingga mengabaikan kebutuhan anak. Â Bonding atau kedekatan emosional antara orang tua dengan anak cenderung terabaikan dan mungkin jadi rusak. Bahkan tak jarang orang tua melampiaskan kekesalannya pada anak. Â Kalau sudah demikian, yang sakit mental bukan hanya orang tua namun juga anak. Â Padahal bonding yang baik antara orang tua dan anak akan sangat membantu kematangan psikologis anak di masa dewasa nantinya. Â Bonding yang baik juga akan membantu anak untuk memiliki rasa aman di masa krisis sehingga terhindar dari kegiatan negatif.Â
Lantas, bagaimana sebaiknya merawat bonding antara orang tua dan anak di tengah situasi yang suram dan dipenuhi ketikdapastian ini? Â Apa yang bisa dilakukan agar kedekatan emosional antara orang tua dan anak tetap utuh di tengah keharusan untuk bertahan hidup dalam keterbatasan sembari menunggu situasi ekonomi membaik? Â Berikut ini adalah sejumlah refleksi yang berangkat dari pengalaman saya sendiri dalam menghadapi situasi saat ini.
1. Â Siapkan Mental Orang Tua
Ibarat penumpang pesawat, dalam kondisi darurat dianjurkan agar orang dewasa mengenakan pelampung pengaman terlebih dahulu sebelum membantu anak-anak untuk mengenakannya  Demikian pula dalam kondisi saat ini.  Orang tua perlu untuk terlebih dahulu menyadari situasi dan mempersiapkan mentalnya.  Satu prinsip yang patut dipegang adalah bahwa berapapun usia anak, mereka tidak perlu menjadi pelampiasan kekhawatiran finansial orang tuanya. Â
Suami dan istri perlu berdiskusi dan menyepakati langkah-langkah yang diperlukan, termasuk alokasi keuangan rumah tangga, penghematan, pengelolaan dan pembagian tugas rumah tangga– khususnya bila terjadi perubahan dalam pola bekerja, keberlangsungan pendidikan anak, mitigasi dalam hal terjadi krisis finansial, dll.Â
2. Â Menjaga Kesejukan Suasana di Rumah
Awal minggu ini anak saya curhat kalau ia merasa prihatin lantaran sahabatnya batal mengikuti study tour karena kesulitan biaya. Sebelumnya ia juga bercerita kalau porsi lauk pada katering sekolahnya semakin mengecil.Â