Baru-baru ini, presiden terpilih, Prabowo Subianto, menyampaikan kepada publik tentang adanya perubahan terhadap pelaksanaan program makan siang gratis untuk pelajar. Beliau menyampaikan bahwa program unggulannya itu akan disesuaikan dan bertajuk sebagai “sarapan bergizi”. Hal ini untuk mengantisipasi jam belajar sebagian siswa yang telah berakhir sebelum jam makan siang.
Beliau juga mengakui bahwa dengan keterbatasan APBN yang ada maka tidak mudah mengupayakan pendanaan bagi program yang diperkirakan akan membutuhkan biaya hingga 450 trilyun rupiah per tahun. Oleh karena itu berbagai penyesuaian perlu untuk dilakukan, termasuk di antaranya menggantikan susu dengan telur.
Lantas, bagaimanakah sebenarnya pelaksanaan program makan untuk pelajar yang telah berjalan di negara-negara lain? Negara mana saja yang telah menerapkan kebijakan ini? Bagaimana pendanannya, apakah sepenuhnya didanai oleh anggaran negara? Adakah pelajaran yang bisa diambil dari praktek pelaksanaan program makan gratis untuk pelajar di negara-negara yang sudah terlebih dahulu menerapkannya? Barangkali dengan menengok pelaksanaan program serupa di berbagai negara lain dapat membuka wawasan kita lebih luas dan lebih realistis menyikapinya.
Survey Global
Makan siang untuk pelajar adalah sebuah program yang dinilai dapat membantu pelajar untuk mengakses makanan bergizi selama jam belajar sehingga berkorelasi terhadap capaian belajar dan peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun kesejahteraan sebuah negara.
Menyadari nilai strategis tersebut, program ini telah diterapkan di berbagai negara di dunia. Namun, mengingat pelaksanaannya yang tak mudah, banyak negara yang baru menerapkannya secara parsial atau bahkan belum menerapkannya. Pembiayaan, standarisasi kualitas maupun operasionalisasi adalah faktor-faktor yang kerap menjadi kendala.
Pada tahun 2021, Global Child Nutrition Foundation (GCNF) telah melakukan survey tentang program makan siang untuk pelajar di 139 dari 195 negara di dunia. Laporan survey tersebut menunjukkan setidaknya 330 juta dari 1,1 milyar siswa atau sebanyak 27% siswa di dunia telah menerima manfaat dari program makan siang. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa semakin tinggi perekonomian sebuah negara akan semakin besar capaiannya dalam program makan siang untuk pelajar. Meskipun demikian, tidak semua negara maju (high income) menerapkan program ini.
Pembiayaan
Perdebatan yang sering muncul tentang pembiayaan program makan siang untuk pelajar adalah apakah selayaknya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah atau pemerintah hanya perlu mengalokasikan pembiayaan bagi pelajar dari kelompok rentan.
Beberapa negara menerapkan kebijakan universal free school meals di mana biaya makan siang untuk semua pelajar pada jenjang pendidikan dasar – apapun kondisi ekonominya - ditanggung oleh negara. Umumnya kebijakan ini diterapkan di negara yang termasuk dalam kategori high income, seperti: Finlandia, Swedia dan Estonia. Sejauh ini, India dan Brazil adalah 2 negara yang meski tidak termasuk dalam kategori high income namun sepenuhnya menanggung pembiayaan program makan siang untuk pelajarnya. Maka cukup mengherankan bila beberapa waktu yang lalu pejabat Indonesia lebih memilih melakukan studi banding untuk mempelajari program ini ke Swedia yang tergolong sebagai negara maju dari pada ke negara lain yang lebih memiliki kesamaan dengan Indonesia.
Beberapa negara memilih untuk memfokuskan pembiayaan untuk pelajar dari kelompok ekonomi lemah yang dikenal dengan targetted free school meals atau subdidized school meals. Kebijakan ini diterapkan di Portugal, Jerman, Inggris, Spanyol, Hongaria, Luxemburg, dll. Skema pembiayaan tersebut tentu saja tidak dapat diterapkan mana kala basis data pemerintah lemah atau tidak sinkron antara satu sama lain.