Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Hukuman Mati untuk Koruptor Indonesia? Kenapa Tidak?

20 September 2016   21:39 Diperbarui: 20 September 2016   21:58 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti yang kita ketahui bersama bangsa Indonesia kini tengah dilanda krisis korupsi yang sangat dahsyat. Tingkat korupsi kita terbilang sangat tinggi. Menurut Lembaga Transparency International (TI) yang merilis data indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index), pada tahun 2015 Indonesia menempati peringkat 88 dengan skor CPI 36, sedangkan skor CPI rata-rata adalah 43. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat korupsi Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara lain. Pemerintah Indonesia, sebagai pemangku kebijakan di negeri ini seharusnya bisa melakukan suatu gerakan masif dalam memberantas korupsi. 

Belakangan ini sedang ramai diperbincangkan di masyarakat tentang hukuman mati terhadap koruptor. Penulis sendiri sangat mendukung adanya hukuman mati bagi para koruptor, karena menurut penulis seorang megakoruptor jauh lebih kejam daripada tentara yang membunuh demonstran di era orde baru. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi, yaitu meluas dan sistematis.

Sudah seharusnya bangsa kita ini banyak belajar dari kesalahan-kesalahan di masa lalu dan melakukan perbaikan supaya lebih maju di masa depan dalam menghadapi kasus korupsi. Pelaku korupsi di negeri ini memang sudah waktunya dijatuhi hukuman mati supaya bangsa ini terbebas dari kemelaratan berlarut-larut. Terlepas dari pendapat pro dan kontra mengenai hukuman mati ini yang katanya hanya Tuhanlah yang berhak mencabut nyawa manusia, penulis justru berpikir sebaliknya. 

Memberlakukan hukuman mati kepada koruptor itu wajib! Karena koruptor itu sebenarnya juga membunuh sesamanya perlahan. Mereka para koruptor mencuri uang negara yang seyogyanya menjadi pemakmur rakyat. Banyak rakyat miskin yang tidak punya sandang sebagai penghangat dari dinginnya udara malam, tidak punya papan untuk berlindung, bahkan untuk makan pun mereka harus bersusah payah untuk mendapatkannya. Apakah ini yang namanya keadilan? Kesenjangan sangat terpampang jelas di bumi pertiwi nan gema ripah loh jinawi ini.

Jujur, penulis “gemas” dengan penampilan koruptor saat mereka memenuhi panggilan di persidangan. Mereka tampil seolah mereka tak bersalah telah melakukan tindakan hina yaitu korupsi. Alih-alih bersikap menyesal atau merasa malu, mereka malah ngotot dan dengan penuh percaya diri menyatalan bahwa tindakannya tidak salah. Jelas, krisis moral hebat sedang melanda negeri ini.

Bila kita bicara tentang hukuman mati bagi pelaku korupsi mungkin bisa ambil contoh dari Tiongkok yang mulai menerapkan hukuman ini ketika Perdana Menteri Tiongkok Zhu Rongji mengucapkan sebuah janji di suatu hari di bulan Maret tahun 1998. Dia bersumpah untuk melenyapkan korupsi dengan menyiapkan 100 peti mati, 99 untuk para koruptor dan satu lagi untuk dirinya sendiri apabila dia berlaku sama dengan para koruptor yang lain. Dan apa hasil dari kebijakan tersebut? Tiongkok kini sebuah negara adidaya yang menguasai pangsa ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonomi hingga lebih dari 10 %.

Pada akhirnya kita hanya bisa berharap dengan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dari seluruh sendi bangsa tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Yang tak kalah penting adalah mencegah terciptanya peluang-peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi dan menanamkan budaya malu bahwa korupsi itu perbuatan dosa. Akhir kata dari saya, sedikit mengutip dari kalimat pembukaan UUD 1945, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. 

Miris, satu kata yang bisa menggambarkan kesinambungan antara cita-cita luhur pendahulu bangsa kita, dengan kondisi bangsa kita yang masih jauh dari cita-cita luhur mereka para pendahulu bangsa. Negeri yang masih jauh dari kata sejahtera, keadilan yang belum dapat ditegakkan sepenuhnya. Kita sebagai mahasiswa mari satukan langkah dalam memajukan bangsa ini agar menjadi bangsa yang bermartabat dan dipandang di mata dunia. 

Paramayuda Ilham

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun