Mohon tunggu...
fendi chaniago
fendi chaniago Mohon Tunggu... -

aku alumni smk negeri 2 medan tahun 2005,aku orangnya sederhana, berasal dari keluarga yang biasa aja, tapi memiliki kasih sayang yang luar biasa banyaknya. aku anak ke 2 dari 3 bersaudara. hobi membaca, olahraga, dan maen musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

parau sebatang pohon

1 November 2011   05:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:12 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: nur efendi

“Benarkah ini tempat untuk orang-orang yang terluka, tempatnya orang-orang yang tersakiti?.”

Anak perempuan tersebut menerawangkan pandangannya ke sekitar taman. Ia tak memperdulikan burung-burung merpati yang sengaja ku undang datang untuk menghiburnya. Sebagian merpati berterbangan di sekitar kami dan sebagian lagi menikmati remah roti yang ku hamburkan ke tanah.

Gadis itu bernama Aya. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam terurai. Setiap sore, Aya selalu memintaku untuk mengantarkannya ke taman ini. Anehnya, Ia tidak memperbolehkanku menceritakan hal ini kepada siapapun, terutama kepada papa nya.

“Apa benar, dengan memanjat pohon itu kita bisa menemui Tuhan?”

Aku termangu, entah dari mana ia bisa mendapat pemikiran seperti itu. Aku yang baru bekerja sebulan lebih sebagai pengurus kebun di rumahnya, sungguh tak mampu menjawab pertanyaan anak majikan ku itu.

Sebatang pohon besar telah lama menjadi perhatiannya.

Dengan akar yang mencengkaram erat bumi dan dedaunan nya yang rimbun menutupi sinar matahari untuk jatuh, menjaadikan tempat itu terasa teduh dan tenang. Betapa tenang hingga menimbulkan rasa ingin bertandang berulang-ulang kali kesana.

“Mungkin ini lah yang membuat Aya betah disini”pikirku.

Boneka beruang berwarna putih yang di genggamnya kini terdekap erat di dada. Boneka itu adalah hadiah yang diberikan ibunya ketika umurnya menginjak 10 tahun. Suasana beberapa tahun yang lalu masih membentuk jelas di dalam ingatannya, hari dimana ia merasakan cinta dan kasih sayang sesungguhnya dari kedua orang tua nya.

Hanya pada hari itu….

Dan di hari-hari setelahnya, suasana seperti itu tiada lagi di rasakan olehnya.

Setelah kematian ibunya, Aya memang lebih banyak diam dan sering menyendiri, terkadang menjadikan boneka-bonekanya sebagai teman berbincang.

Aku masih menatapnya…

Meski telah beberapa kali aku menemaninya ke sini, namun sampai sekarang aku tidak mengetahui alasan apa yang membuatnya sering datang ke taman ini.

Kupikir rimbun taman ini, namun ternyata tidak.

Apa mungkin hijau air waduk disini, itu juga tidak.

Aya tidak seperti remaja seusianya yang suka berjalan-jalan ke mall atau nongkrong bersama teman di tempat-tempat makan, apalagi Aya berasal dari keluarga kaya, seharusnya akan lebih mudah baginya untuk mendapatkan segala kesenangan yang di inginkannya. Tapi Aya lebih memilih berdiam di rumah serta menyendiri di dalam kamar dan bila sore menjelang seperti ini ia akan memintaku untuk menemaninya ke taman. Di taman ini pun ia tidak berjalan-jalan menikmati suasanaatau memandangi keindahan waduk yang airnya berwarna kehijauan, sesampai disana Aya hanya terduduk di kursi taman yang terbuat dari batang kayu tua dan memandangi pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah taman itu. Aku bisa melihatnya menggerutu seperti berbicara sendiri.

“Apa yang non Aya cari di tempat ini?” aku mencoba mencari tau.

Aya hanya diam. Ia tak memperdulikan pertanyaanku, bahkan ia terus memandangi pohon tersebut walau dengan tatapan kosong.

“Aya tidak akan nakal” gumamnya, walau tanpa raut apapun.

“Aya rindu ibu… Aya sayang ibu.”

“ibu bahagia kah disana? Mengapa Aya tidak ibu ajak?” wajahnya tampak sedu, “mengapa bu?”

Aku menyadari kalau tingkahnya memang sedikit aneh. Ya.. seperti itulah, Aya sering terlihat murung dan terkadang berbicara sendiri.

Matahari seperti terpeleset dari tahtanya sehingga waktu terasa begitu cepat berlalu.

Cahaya senja yang sempat muncul kini perlahan memudar termakan gelap, menuntun Aku dan Aya untuk kembali ke rumah.

*

Meskipun rumah ini besar, namun hanya di huni oleh Aya, Pak Andro, Mbok Jah (pembantu mereka) dan aku. Pak Andro jarang berada di rumah, ia sering kali keluar kota untuk mengurusi masalah pekerjaan. Hampir semua waktunya di habiskan di kantor. Saking sibuknya, Pak Andro tak ingat lagi hari ulang tahun anak semata wayangnya itu. bagaimana perkembangannya, apa yang di alaminya di sekolah, Pak Andro tidak pernah mau tau. Dengan meninggalkan kartu kredit yang tanpa limit dan banyak lembaran uang tunai, ia anggap segala keperluan anak gadisnya itu sudahlah terpenuhi dan tercukupi. Sedangkan Aya tak pernah sekali pun menggunakan segala fasilitas itu,Tiap harinya Aya hanya di rumah berteman Mbok Jah menonton televisi dankebanyakan menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar bermain dengan boneka-boneka nya.

Aku mencoba mencari sebotol air mineral untuk menghapus rasa dahaga yang mendera. Rumput di halaman belakang sudah terlalu tinggi, membutuhkan upaya lebih untuk memangkasnya agar tampak lebih terawat. Tanaman-tanaman itu sudah lama tak di perhatikan. Menurut Mbok Jah, Aya dan almarhumah ibunya lah yang dulu sering merawat bunga-bunga itu. Almarhumah ibunya suka sekali berkebun. Warna dan aroma bunga menjadi daya tarik Aya untuk ikut menyukai tanaman sama seperti ibunya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk menyiram dan merawat bunga-bunga itu.

Namun kini tidak lagi!

Kini tak ada seorangpun yang dapat membuatnya bersemangat dan betah untuk berlama-lama merawat bunga-bunga itu. Aya lebih suka pergi ke taman di tengah kompleks hanya sekedar memandangi pohon besar yang rimbun dan penuh misteri itu.

“Mbok.. pohon besar yang tumbuh di taman belakang kompleks ini kelihatannya angker ya?” tanyaku. kemudian ku teguk sebotol air mineral yang ku ambil dari dalam lemari pendingin.

Mbok Jah yang sedang mencuci piring di dapur mendadak menghentikan kegiatannya. Mbok Jah menghampiri dan menceritakan suatu kejadian yang pernah terjadi di taman itu. Suatu cerita nyata yang sungguh mengejutkanku.

Menurut cerita mbok Jah,

Setahun yang lalu ada seorang ibu yang ditemukan tewas gantung diri pada pohon besar di taman itu. Wajah mbok terlihat memucat dan gelagatnya seperti orang yang sedang ketakutan. Sebelum kejadian itu, pernah juga ditemukan seorang gadis gantung diri.

“Apa mereka yang meninggal penghuni di kompleks ini juga mbok?”

Mbok Jah terdiam sesaat..

“Ya.. mereka juga penghuni di kompleks ini.”

Bagi masyarakat di sekitar kompleks, pohon itu di anggap memiliki aura mistis. Entah mengapa, terkadangwarga yang sedang mengalami masalah selalu datang ke taman itu.

Pohon itu seperti memanggil mereka…

Seakan merayu untuk melepaskan segala beban kehidupan dengan berbagi padanya.

Bulu kudukku berdiri mendengarkan cerita mbok jah, tanpa sadar tubuhku pun gemetaran. Ada perasaan takut yang muncul.

“Oya mbok, Ibu non Aya meninggal karena apa?” pertanyaan itu terlontar begitu saja. mengingat Aya begitu sering datang ke Taman itu.

Mbok Jah sungguh terkejut. Tatapan matanya berubah, Ia seperti serba salah, ada potongan cerita yang ia sembunyikan. Ia bergegas berlalu seakan tak menghiraukan pertanyaan ku tadi.

Tinggal hanya aku yang berdiri terpaku dan di penuhi rasa penasaran.

“Mengapa Aya sering kesana?” gumamku.

**

Matahari telah sampai di singgasana nya, namun tak sedikitpun ia meredupkan cahayanya.

Pak andro pulang lebih cepat hari ini. Ia menghampiri Aya yang sedang menyaksikan siaran televisi di ruang tamu.

“Papa pulang.”

Aya menoleh kearah papa nya.

“Papa ingin mengenalkan kamu dengan seseorang” Pak Andro duduk di sampingnya.

Sesaat kemudian seorang wanita berjalan menghampiri mereka. Pak Andro berdiri dan memperkenalkan wanita itu kepada Aya.

“Ini tante Mira. Dia yang akan mengurus kamu dan papa.”

Tante Mira adalah sekretaris pribadinya Pak Andro di kantor.

Sebuah nama mengambang-ngambang di kepala Aya.

MIRA…MIRA…MIRA….

Nama yang seperti ia pernah dengar sebelumnya.

Aya tau nama itu, tapi dimana?

Aya mencoba menyeruak ke dalam ingatannya. Menyongsong ke dalam tumpukan berkas-berkas memori.

Ia ingat….

Mira, adalah sebuah nama yang sering kali diucap oleh ibunya. Nama yang selalu terlontar dalam pertengkaran itu. Sebuah nama yang selalu bersanding caci maki, yang membuat papa nya melayangkan tamparan di pipi ibunya. Beberapa kali nama itu bergema tiap terjadi pertengkaran antara kedua orang tua nya. Bahkan kematian ibunya juga terjadi setelah pertengkaran besar yang menyangkut dengan sepenggal nama MIRA.

Aya tiba-tiba berdiri. Ia menatap tante Mira dengan tatapan dingin. Matanya memerah seperti seluruh darah telah berkumpul di kepalanya.

“Aya tidak mau!” aya menatap serius, “karena kau ibu meninggal. Pergi saja kau!”jari nya menunjuk kearah tante Mira.

Sebuah tamparan mendarat di pipi Aya. Pak Andro melakukan itu secara spontan, bekas merah menyala sekejap tercipta di pipi Aya .

Aya terdiam.

Tamparan ini,

Rasa sakit ini,

Sesuatu yang juga dirasakan oleh ibunya dulu.

Ia memegang pipinya. Entah mengapa rasa sakit itu juga terasa di dalam dadanya.

Ya… tepat di hatinya.

Sentuhan seorang ayahselalu di harapkannya, tapi bukan tamparan yang seperti ini. Yang di rindukannya adalah sentuhan kasih sayang dan perhatian dari seorang ayah yang sudah lama tak dia dapatkan semenjak ibunya tiada.

Aya menangis sambil berlari menuju kekamarnya yang terletak di lantai dua rumah ini.

Sedangkan Pak Andro terduduk lemas, menyesali apa yang telah ia lakukan kepada anak perempuannya. Ia memandangi tapak tangan yang telah menampar Aya, perasaan sesak juga melanda di dadanya.

Sudah berjam-jam Aya tidak keluar dari kamarnya. Pak Andro dilanda perasaan bersalah, ia terlihat begitu cemas. Ia mencoba menyusul ke kamar untuk meminta maaf dan berbicara baik-baik dengan anaknya. Sesampai disana, ia tak menemukan Aya.

Semua menjadi panik, dalam kegusaran Pak Andro menyuruhku untuk mencari Aya ke seluruh ruangan di rumah itu. Namun tak juga ku ketahui dimana keberadaan Aya.

Aku teringat akan sesuatu,

Ya …taman itu, pasti sekarang dia sedang berada di taman itu.

Aku bersama Pak Andro bergegas menuju ke taman itu. Burung-burung merpati ikut risau, mereka berterbangan menuntun langkah kami yang terburu.

Sungguh hal yang mengejutkan . Sesosok tubuh telah tergantung pada cabang pohon besar itu. Lehernya terlilit seutas tali, napasnya telah terhenti semenjak tadi. sedang sebuah boneka beruang putih tergeletak di bawah.

Pohon besar itu….

Ia telah berhasil merayu seorang lagi pada kesesatan.

Dengan memanfaatan keputusasaan dan kedangkalan iman seseorang,

(kandang kancil, 7 september 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun