Mohon tunggu...
Farahita Ann
Farahita Ann Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Lost in my own thoughts..

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengulas Fenomena "Indonenglish" yang Semakin Populer

20 September 2024   18:59 Diperbarui: 20 September 2024   19:01 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Opini-Media Indonesia

Mengulas mengenai salah satu esai yang berjudul "Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan" karya Bernando J Sujibto. Esai ini membahas fenomena 'indonenglish' atau 'englonesian', yaitu penggunaan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang semakin meluas, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena ini telah menjadi praktik budaya populer yang tanpa disadari telah menjadi standar percakapan di pergaulan anak muda saat ini, apalagi dengan dukungan teknologi internet dan fasilitas media sosial yang semakin canggih. Meskipun dulunya fenomena ini diperdebatkan oleh para ahli, tapi sekarang fenomena tersebut tidak lagi menimbulkan perdebatan karena sudah dianggap praktik normal dalam komunikasi sehari-hari.

Dalam konteks ini, Penulis mengaitkan fenomena ini dengan konsep 'captive mind' dari Syed Hussein Alatas. Konsep ini menyoroti dampak kolonialisme yang berkepanjangan terhadap identitas dan kebudayaan bangsa. Ketika masyarakat merasa inferior terhadap bahasa dan budaya asing, mereka cenderung mengabaikan dan meremehkan bahasa ibu mereka sendiri.

Esai ini juga menyoroti kekhawatiran tentang nasib bahasa Indonesia di masa depan. Kelalaian dalam penggunaan bahasa Indonesia, terutama di kalangan anak muda semakin diperparah oleh dukungan orang tua yang mendorong anak-anak mereka untuk menggunakan indonenglish dengan dalih melatih mereka beradaptasi dengan bahasa asing. Dalam konteks ini, penggunaan bahasa Inggris dan masuknya budaya luar semakin dipilih menjadi tren populer, sehingga sering dianggap sebagai standar internasional dan harus diikuti. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang identitas dan keberlangsungan bahasa Indonesia, juga menunjukkan bagaimana kondisi ini berpotensi membahayakan masa depan bangsa Indonesia.

Hal yang menarik dari esai ini adalah bagaimana fenomena indonenglish telah berakar dalam kehidupan sehari-hari melalui pembahasan tentang captive mind. Konsep ini mengingatkan kita bahwa keadaan inferioritas budaya dapat berujung pada penurunan apresiasi terhadap bahasa dan budaya lokal. Hal ini menjelaskan tentang bagaimana kita, tanpa sadar, telah menormalisasikan praktik yang dapat membahayakan masa depan bangsa. Ini juga menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sebagai cerminan identitas sosial. Selain itu, esai ini juga menarik dari segi tata bahasa yang digunakan oleh Penulis, mencerminkan penguasaan literasi yang baik melalui pemilihan kata, pembagian paragraf, dan penyusunan kalimat yang efektif.

Dalam membaca esai ini, saya menemukan beberapa hal yang belum pernah saya ketahui sebelumnya, seperti makna etimologis, istilah inferioritas, dan konteks studi tentang pascakolonialisme atau dekolonialisme. Dan saya belum sepenuhnya paham tentang Konsep captive mind yang diangkat dari Syed Hussein Alatas, tentang bagaimana konsep ini beroperasi dalam konteks kebahasaan. Terlepas dari hal tersebut, Saya sangat mengapresiasi cara Penulis menyampaikan opininya, termasuk bagaimana Ia menyertakan kutipan dari tokoh-tokoh besar yang relevan. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga memberikan penggambaran yang lebih mendalam tentang topik yang dibahas.

Esai ini juga memberikan perhatian yang patut diapresiasi terhadap pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Penulis juga menyorot perlunya edukasi yang terukur dan perhatian terhadap nasib bahasa ibu di tengah arus dominasi budaya asing. Penulis menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap nasib bahasa Indonesia dan kebudayaan lokal, mencerminkan cinta tanah air dan komitmen untuk melestarikan identitas nasional. Dan jika boleh berpendapat, salah satu kelemahan yang terlihat dalam esai adalah panjangnya argumen yang terkadang bisa terasa berlebihan. Memadatkan beberapa poin akan membuat esai ini lebih efektif dan mudah dipahami. Esai ini juga memiliki keterbatasan dalam hal data dan contoh konkret yang mendukung klaim-klaim tentang dampak indonenglish.

Secara keseluruhan, esai ini merupakan refleksi kritis Penulis terhadap fenomena penggunaan bahasa yang kompleks di Indonesia. Dengan beberapa penyempurnaan dalam struktur dan penjelasan, esai ini dapat menjadi kontribusi yang lebih kuat dalam diskusi tentang identitas dan kebudayaan melalui bahasa. Di tengah tantangan globalisasi, menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia adalah tugas bersama yang perlu diperjuangkan demi keberlanjutan budaya dan identitas bangsa. Kita harus menyadari bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga alat untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya serta identitas kita sebagai sebuah bangsa. Dengan demikian, esai ini tidak hanya sekadar kritik terhadap fenomena indonenglish, tetapi juga panggilan untuk mencintai dan melestarikan bahasa dan budaya kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun