Pukul 03.06 dini hari aku terbangun. Suara-suara bising di luar kamar kostku penyebabnya. Seolah ada yang berkejaran diselingi dengan suara tertawa kecil-kecil. Aku jadi penasaran. Siapa gerangan yang bercanda ria tengah malam begini? Tetapi tidak lekas ku berdiri, sebab aku butuh waktu memerbaiki kondisi kepalaku dulu yang masih dikelilingi kantuk berat. Sambil tetap meneliti suara-suara bising tersebut, kududukkan tubuh ini di atas kasur untuk mengumpulkan kekuatan. Lalu kuintip sumber suara tersebut dari balik tirai jendela. Hasilnya, nihil. Tak ada siapa pun di luar sana. Bahkan suara-suara bising itu pun juga hilang tanpa jejak.
Aku memejamkan mata, kutarik nafas dalam-dalam. “Mungkin hanya halusinasiku saja,” pikirku, berusaha menebis pikiran-pikiran berbau horor.
Kurapatkan kembali tirai jendela, kubaringkan tubuh, dan berusaha memejamkan mata.
***
Kusegerakan diri bangun pagi-pagi, pas saat adzan subuh berkumandang. Usai shalat subuh, kubuka lebar-lebar daun jendela agar pertukaran udara pagi memenuhi ruangan kamarku. Selanjutnya, pelan-pelan kubuka pintu, dan melongokkkan kepala keluar. Memastikan apa yang terjadi dini hari tadi. Tak ada sisa-sisa jejak, berarti semalam aku benar-benar berhalusinasi, setidaknya itu adalah kesimpulan sementara. Meski rasa penasaranku tidak sepenuhnya reda.
Suasana kost pagi ini masih begitu legang. Tak ada aktivitas berarti, kecuali suara sapu lidi petugas kebersihan kost yang menggaruk-garuk tanah. Aku kembali beraktivitas sebagaimana biasanya. Membersihkan kamar, sarapan, dan bersiap-siap ke tempat mengajar. Namun saat anak kunci yang kubiarkan bergantung di lubang kuncinya hendak kuputar, terdengar pintu kamar sebelah kostku berderit. Dan menyembullah dari balik pintu wajah seorang mahasiswi penghuni kamar tersebut. Aku memanggilnya Kiki.
“Selamat pagi, Kiki.” Sapaku
“Pagi, Kak…” balasnya, dengan senyuman kecil. “Kakak sudah mau keluar, yah?”
Aku mengangguk.
“Kak, Kiki boleh minta waktunya sebentar? Itu pun kalau Kakak belum terlambat.”
“Iya, masih ada sisa waktu sekitar 30 menit, kok! Memangnya ada apa? Kiki, sakit?”
Dia menggeleng, “Kak, bicara di kamar Kiki saja, yah!”
“Ok….” Aku mengikutinya masuk kembali ke kamarnya.
Kondisi kamar Kiki masih berantakan. Maklumlah dia baru saja bangun dan belum sempat merapikan tempat tidurnya. Aku duduk di ranjang Kiki, dan dia menyodorkan kopi secangkir kopi hangat. “Begini, Kak. Semalam Kiki sempat dengar suara-suara aneh di luar. Apa Kakak juga mendengarnya? Kira-kira sekitar jam tigaan deh, Kak.”
Aku tersenyum, rupanya bukan hanya aku seorang yang berhalusinasi tengah malam tadi.
“Kok malah senyum-senyum, Kak? Kiki serius, suaranya bising samnpai-sampai Kiki susah tidur.”
“Iya, aku juga mendengarnya, Dek. Tetapi setelah menengok keluar jendela, tidak ada apa-apa. Kosong dan sepi.”
“Akh… Masa sih, Kak? Suara cekikan tawanya jelas sekali.”
“Sudahlah, anggap saja semalam kita berdua sedang berhalusinasi.” Ucapku kembali tersenyum.
Kiki mengeryitkan keningnya, dia tidak menerima pernyatan terakhirku ini. “Kak, Kiki penasaran. Masa sih ini hanya halusinasi?”
“Terus, apa yang akan Kiki lakukan?”
“Kiki punya ide, Kak. Bagaimana kalau tengah malam sampai dini hari nanti kita biarkan mata terjaga. Tidak boleh tidur, lalu kita selidiki pelan-pelan apa yang terjadi. Mungkin saja suara-suara itu akan terdengar lagi, jadi kita harus tetap memerhatikannya. Bagaimana?”
“Boleh. Kebetulan besok kan Aku libur, jadi tidak apa-apalah begadang-begadang ria.”
Tampak rona lega di wajah Kiki. “Baiklah, ini sudah setengah jam lebih loh, Kak. Terima kasih untuk waktunya.”
Aku bergegas meninggalkan kamar Kiki setelah menyeruput habis sisa kopiku dan berpamitan dengannya. Terus terang, hatiku juga lega. Sebab aku juga sangat penasaran dengan suara-suara itu.
***
Malam beranjak, aku bersama Kiki tak enggan memejamkan mata. Kami telah bersepakat untuk mencari tahu sumber suara-suara aneh, malam ini. Untuk menghilangkan kantuk, kami bermain monopoli di kamar kostku. Sudah berjalan beberapa putaran, dan pihak bank sudah kehabisan uang. Semua aset telah dibeli, dan malam tergilas waktu. Sekarang pukul 4.00 dini hari, tetapi tak ada tanda-tanda kemunculan suara itu. Aku dan Kiki memutuskan pengintaian usai, dan bersepakat bahwa apa yang kami dengar kemarin malam itu hanya kebetulan saja, hanya halusinasi, meski hati kami, sama-sama menolak kesimpulan tersebut.
Dengan mata redup, Kiki hendak beranjak dari kamarku. Tetapi belum sempat meraih gagang pintu, lamat-lamat dari luar terdengar suara langkah kaki. Kiki mematung, Ia menatapku, menanti keputusan apa yang akan kami perbuat. Tanpa berlama-lama, aku menarik lengannya, sambil menggeser sedikit tirai membuka celah untuk kami berdua melihat sumber suara tersebut. Dan alangkah kagetnya kami. saat pandangan menembus kaca jendela, tampaklah sosok Nirwana berjalan semponyongan sambil dipapah seorang lelaki, entah siapa. Dia berbicara tak karuan diselingi dengan tawa tak jelas. Dia mabuk berat rupanya, dan laki-laki yang memapahnya seakan-akan mengambil kesempatan untuk memerlakukan Nirwana semaunya, tetapi tidak ada rona penolakan di wajah Nirwana. Bahkan tangannya menggelayut manja di leher lelaki tersebut saat menginjakkan sebelah kaki ke dalam kamar kostnya.
Aku dan Kiki kembali bersitatap. Kami saling diam, membuat kesimpulan di benak masing-masing. Lalu memutuskan terlelap. Terputar lagi rekaman suara bunda di benakku, saat kuputuskan kuliah di kota, dulu. “Nak, jagai laloi siri’na tau matuammu. Jaga sumbajangmu. Melajah rampako. Kemadoangku berhasil, tattako mellingi jiong bawa’. Anggimu kakita-kita sanga edda’ kita apa-apanta. Yato baine, kalenara iya na punnai. Susi to talloh, yanna pokamo masussami di duruk pole, jadi jagai kalemu.” *
*Bahasa daerah suku Masennrempulu (salah satu suku kecil di Sulawesi-Selatan)
“Nak, jaga kehormatannya orang tuamu. Jaga sembahyangmu. Belajarlah yang giat. Jika kau ingin menjadi orang yang sukses, selalulah melihat ke bawah (hidup sederhana). Jangan melihat/ mengikuti di luar batas kemampuanmu, karena kita tidak memiliki apa-apa. Yang dimiliki seoranng perempuan hanyalah kehormatan dirinya. Ibarat sebutir telur, sekali pecah maka akan sulit disatukan kembali.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H