Adakah yang namanya kegagalan sistematis, sebuah kegagalan yang holistik. Berkesinambungan dan saling mempengaruhi?, sepertinya itulah yang terjadi pada Indonesia hari ini, ketika semuanya terlihat tidak ada harapan, ketika kesuksesan itu rasanya semakin menjauh saja dari perut bumi pertiwi yang kita sayangi ini. Beberapa bulan sudah Pak Jokowi menjadi presiden, banyak sekali gejolak-gejolak politik yang nyata, menjadi sebuah tontonan bagi para penikmatnya. Kala Indonesia harus mempertaruhkan segalanya di atas kepentingan beberapa kelompok saja. Sebut saja mengenai isu KPK dan Polri yang berlarut-larut hingga beberapa minggu, kini tenggelam seiring waktu tiada kabar.
Jika kita melihat ke belakang, beberapa kejadian bisa menjadi highlight di masa pemerintahan pak Jokowi yang masih berumur sejagung. Kita lihat saja, bagaimana tingkat keterlibatan masyarakat dalam panggung politik baik aktif maupun nonaktif menjadi semacam pembelajaran tak langsung yang memperlihatkan betapa baiknya jika politik itu digunakan untuk pembangunan, tetapi betapa busuknya jika politik itu hanya digunakan sebagai bahan untuk memuaskan kepentingan kelompok yang jumlahnya 1 banding berpuluh juta orang. Ketika kisruh di DPR yang dipimpin seorang wanita tua bernama CeuPopong yang memenangkan ketua DPR setya Novanto, wakilnya Fadli Zon, membuat DPR harus mengeluarkan tandingan segala, menjadi bahan renyah perdebatan di dunia maya, bagi yang pro dan kontra, walau tidak ada jalan keluarnya, struktur DPR begitu tetap, kepercayaan rakyat hilang malah menghasilkan tag Pagar #BubarkanDPR. Kini riaknya sudah tidak ada lagi, sampai sekarang masyarakat belum merasakan manfaat berarti dari DPR kecuali adanya berita biaya reses di DPR, biaya ini itu, dan biaya sana sini, yang jumlahnya katanya miliaran.
Naas, ketika sebuah kecelakaan terjadi di awal pemerintahan Jokowi, Air Asia yang mengguncang Indonesia, air mata bagi orang yang merundung karena keluarganya tiada, isu ini menjadi pembicaraan nasional yang membongkar betapa buruknya dunia maskapai Indonesia, kemudian ada isu Kementrian di Bawah Susi, seorang Wonder Woman yang mengubah citra seorang yang tak berpendidikan malah lebih hebat kinerjanya dari seorang bergelar s1, s2, doktor dan profesor manakala sang menteri pujaan banyak kalangan memborbardir kapal-kapal luar, dan menghalau semua kapal pencuri dari luar negeri, belum pernah sejarahnya terdengar Indonesia begitu berdaulat seperti ini. Ketika Pasokan Ikan katanya mulai kosong di Filipina, sampai Walikotanya blunder mengatakan Nelayan Indonesia tidak siap untuk memancing di negaranya sendiri, sehingga Indonesia butuh Nelayan Filipina. No Way.
Kisruh mengenai KPK Polri, yang jelas dimulai dari pencalonan tunggal Budi Gunawan manjadi Kapolri, langsung disepakati oleh DPR, di bawah pengawasan kompolnas, yang kemudian ditenggarai bahwa Budi Gunawan adalah calon yang tidak layak untuk dijadikan kapolri karena rekening gendutnya. Siapa terima sang Budi Gunawan merasa dilecehkan. Ada sebuah Fraction yang terjadi di tubuh KPK ketika penangkapan Wakil KPK seusai mengantar anaknya di Depok dengan Borgol di tangan. Berlanjut sana sini hingga menjadi perdebatan di banyak kalangan, akhirnya Badrodin Haiti diangkat jadi plt. Kini riaknya sudah mulai mereda, nasib KPK makin tidak jelas, institusi ini memang sepertinya sedang mati suri, dan perlahan akan disuntik mati supaya tidak kelihatan lagi, mengapa? sudah jelas KPKÂ = Komisi Pemberantasan Korupsi. Koruptor yang kepalang sudah terbiasa dengan kehidupan nyaman, dan sudah melihat bahwa melakukan korupsi adalah kesenangan tiada tara, tentu tidak suka jika KPK semakin kuat, hanya ada dua kemungkinan KPK yang mati atau Koruptor diberantas. Titik.
Isu mengenai Perekonomian Indonesia yang tampak amburadul, ketika Jokowi dituding sebagai Neolib sejati. Banyak kalangan bahkan para lawan politiknya yang mengatakan Jokowi seorang pedagang yang sedang menjajakan Indonesia, siap dijual. Tak palang dan tak tanggung-tanggung banyak artikel beredar yang mengatakan bahwa Pemeritahan Jokowi yang hanya 3 bulan sudah menabung hutang sama seperti 30 tahun soeharto menjabat. Sebuah tulisan dan opini yang tidak ada dasarnya berdasarkan dengan opini belaka, tidak ada statistik yang mendukung. BBM naik dan diturunkan, Pak Jokowi berpesan, harga ini disesuaikan dengan harga minyak dunia, banyak menuding bahwa justru disinilah ketidakkompetenan Pak Jokowi, apalagi naiknya harga beras, anjloknya nilai rupiah terakhir mencapai Rp. 13000 per satu dollar, membuat Rupiah menjadi salah satu mata uang sampah disejajarkan dengan beberapa mata uang di lima negara.
Pak Jokowi menggemparkan, ketika Gembong narkoba ditembak mati, dari Belanda dan Brazil ada warganya yang melayang di bawah tembakan algojo di nusa kambangan. pak Jokowi berpesan Indonesia darurat narkoba, tidak ada "ampunan", alhasil tiada grasi untuk para gembong, sangat berbeda dengan era Pak SBY yang santun dan tampaknya lebih "menghargai HAM" melepaskan ratu narkoba asal Australia Michele Corby dengan hak privilege presiden bernama "Grasi". Brazil Marah dan melecehkan Dubes Indonesia untuk Brazil warganya mati ditembak di tanah Indonesia. Retno wakil Menlu, segera disuruh menelpon sang Dubes, memulangkan Dubes Indonesia. "Kita Negara bukan untuk ditawar-tawar". Belum pernah rasanya Indonesia sepanas ini dengan negara lain, Indonesia selalu terlihat sebagai negara dengan pendekatan soft diplomacy. Di bawah Pak Jokowi, rasanya berbeda, keras dan menantang. Belum selesai juga, masalah di situ, Australia mulai "marah" dengan Indonesia yang tidak tahu terima kasih dengan persahabatan selama ini (Australia nyadap Istana Indonesia - masihkan sahabat? / musuh dalam selimut?), Aceh diterjang sunami jutaan dollar dikucurkan australia ke Indonesia. merasa diilecehkan orang-orang aceh dan beberapa kalangan di nusantara mengumpulkan dana koin untuk Abbot sang perdana Menteri Australia. Bishop berdalih semua cara akan dilakukan untuk membebaskan terpidana mati, pak Jokowi tak bergeming, "Hukuman mati sudah melalui prosedur hukum yang berlaku di Indonesia".
Australia marah dan merasa dilecehkan (atau mungkin sekelompok di australia, karena di sana sekalipun terjadi perdebatan, ada forum mengatakan bahwa mereka malu diwakili oleh "abbot"). Diplomasi Indonesia di era Jokowi serasa cari-cari lawan saja, tampak beringas dan tak mau kompromi. Rasanya berbeda, Indonesia terasa seperti satu kedaulatan yang nyata dan tidak abu-abu. Mantan Presiden ke 6 Indonesia SBY, yang kini jadi manajer di sebuah perusahaan korporasi menganggap bahwa langkah-langkah diplomasi ini tidak elok, misalnya penghancuran kapal, bisa dilakukan cara yang lebih lembut, tata kramanya lebih kelihatan, jangan bom sana, bom sini. Pak SBY juga tidak suka disalah-salahkan dengan kenyataan bahwa semua masalah masa kini adalah warisan di pemerintahannya. Alhasil sebuah catatan tertuang di Facebook yang mungkin diarsipkan khusus oleh staff facebook di Amerika. Faces of Indonesian Former Leaders. Bu Susi Bilang kita rugi triliunan rupiah ber gros gros ton ikan kita dicuri di depan hidung sendiri, suaranya menggelegar seperti suara laki-laki, tidak suka dengan ide pak SBY, alhasil pemboman bom bom pencuri tetap terjadi. rasanya beda. Sebuah mega proyek baru saja dimulai di Sumatera dengan nilai proyek triliunan, pembangunan Waduk-waduk di titik-titik strategis mulai dicanangkan pak Jokowi, goncangan sana sini, tiada berhenti.
Isu Dualisme kepemimpinan tidak bisa dilepaskan, dari atribut Pak Jokowi, beberapa menterinya seperti tidak menghasilkan apa-apa. Akhir-akhir ini adanya wacana pemberian 1 Trilliun per partai dengan alasan supaya partai mandiri dan tidak korupsi mencuat, Fadli Zon langsung komentar. 1 Trilliun itu terlalu kecil dibandingkan dengan APBN kita . " What?" apakah Partai penyelenggara negara?, apakah partai adalah nafas dari kehidupan bangsa ini?, siapa yang harus dibiayai APBN? rakyat Indonesia atau partai-partai kelompok di Indonesia ?, Sekretaris negara Andi widjajanto mengatakan "Pemberian 1 T (1000 Miliar) per partai ini masih wacana, tidak pernah ada diagendakan". Well. terlepas ini masih wacana, tetapi siapa saja yang memunculkan Wacana ini adalah seorang yang buta nuraninya atau nalarnya tidak berjalan dengan semestinya.
In case of good Government, sebuah Keretakan di Kubu KMP tidak terelakkan, ketika Aburizal Bakrie ditantang Agung Laksono, Golkar goyang, KMP bergetar tidak nyaman. Jan Fadjri mengatakan KMP kini tinggal kenangan, kita sudah berada di kubu pemerintahan. Memang banyak yang mengatakan koalisi KMP sangat labil, kumpulan partainya terlalu recok dan banyak kepentingan kekuasaan. Walau tak terbantahkan PDIP pun bergeliat, karena merasa kurang dihargai Jokowi. Intinya partai bukan segalanya, sebuah kendaraan hanyalah kendaraan, Banyak jalan ke roma, tidak selayaknya Mobil mengatur pengendaranya, Pengendaralah yang memutuskan apakah masih perlu menggunakan atau tidak, apakah ingin berjalan kaki atau tidak, Partai adalah fungsi pendukung, yang sifatnya harus apresiatif, jika sinergis akan mempercepat kerja, jika berbenturan akan merepotkan. Tetapi tetap saja, kendaraan adalah hal yang non obligatif. Perubahan tidak terjadi semalam seperti kisah-kisah peri pengubah segalanya atau kisah-kisah roman yang menggambarkan bagaimana candi-candi bisa dibangun dalam satu malam, perbaikan tidak terjadi seperti menjentikkan jari, ada proses yang perlu berkelanjutan, ada proses yang perlu dilalui sehingga mencapai hasilnya. Tetapi sepertinya Indonesia kelihatan tidak berprogres, semakin lama-semakin kepercayaan kepada Jokowi, yang dianyar sebagai angin perubahan makin menurun. sepertinya sang Pembawa perubahan belum tepat pak Jokowi, banyak yang protes "Hukum Memihak ke kalangan Atas", "Harga beras kok makin naik, hello pak Jokowi Where are you?". Oknum dari PKS malah tegas Mengatakan " Jokowi bukan Kelasnya Presiden". Seakan-akan Indonesia tidak layak mendapatkan perubahan ke arah yang lebih baik, serasa hadiah perubahan ke Indonesia sama saja dengan memberikan penghargaan Hadiah Nobel perdamaian ke Hitler sang Nazi.
Terbukti sudah, Indonesia terlalu banyak Opini, pendapat wara wiri sana sini, semua pejabat merasa paling benar, semua institusi lupa bahwa uang itu semua adalah kolektivitas dari semua rakyat, dan tujuannya adalah untuk perbaikan di sana sini, bukan untuk biaya rapat melulu, atau konferensi mereka, atau bukan untuk snack cemilan mereka. Terlalu banyak kepentingan politik yang memuakkan, tiada arti terlalu banyak definisi yang penuh embel-embel, referensi UU no a, b,c hanya untuk menguatkan argumennya. Hukum itu sangat buruk sifatnya, karena tiada yang mutlak, tetapi Hukum yang buruk itu akan semakin buruk lagi di tangan yang buruk hatinya. Barangkali itulah yang terjadi di Indonesia saat ini. Atau apakah ini proses pembelajaran bagi kita?, jika kita perhatikan apakah Indonesia memang sudah layak mendapatkan hadiah perbaikan itu?, kita lihat saja para wakil rakyat kita yang terlalu ribut di atas sana, debat sana sini, kritik sana sini, kita lihat saja program-program yang ditawarkan apakah ada solusinya jika memang tidak baik?, kita lihat saja bagaimana rakyatnya apakah sudah teliti dan selfcorrection sudah dilakukan?, Sebaik-baiknya pak Jokowi, saya melihat Pak Jokowi sedang bekerja tetapi dijengkal sana sini, akan terjatuh juga suatu saat, semua kebijakannya terlihat dipelintir, diperburuk supaya tampak kumal, kasar dan tidak baik, semua sikapnya terlihat dibelokkan kelompok-kelompok tersebut. Sekuat-kuatnya pak Jokowi, setegar-tegarnya pak Jokowi tanpa dukungan yang genap, tanpa support yang nyata, tidak akan maju. Negara itu working team, bukan Individual Act.
Apakah sebenarnya keinginan kelompok-kelompok ini semua?, Pak Jokowi sudah Presiden, kenapa masih ada wacana "Pak Jokowi bukan Kelasnya Presiden", mau membuat Pemilu Ulang?, nalarnya dimana?, kalau memang pemerintahan ini ada kesalahan, apakah memberi kritik berkelanjutan akan memberi perubahan?, memberi kritik perlu, tetapi lebih perlu lagi memberi solusi dengan "MELAKUKAN". Fraksi-fraksi partai di DPR, di legislasi malulah jika hanya mengkritik, tapi kinerja publiknya tidak terlihat. Sepertinya Seorang Pemimpin saat ini sedang berada di Mobil yang rusak, Indonesia yang rusak, yang orang-orangnya tidak mau berubah, yang kesukaannya mengkritik. Pemimpin itu butuh dukungan, too many critiscsm will down Him, akan menghancurkannya, akan menggoyahkannya. Akan baik jika sang pemimpin diterpa menjadi lebih kuat. Tetapi akan buruk jika Indonesia berlarut dalam era caci maki ini. Barangkali ada Pendekatan Publik dan Pandangan yang buruk yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Keberhasilan Presiden Jokowi nantinya adalah keberhasilan Individual, Keberhasilan DPR adalah keberhasilan DPR belaka, Keberhasilan KPK adalah keberhasilan KPK saja, keberhasilan Polri adalah keberhasilan polri saja, Seakan-akan semua institusi yang berbeda ini muaranya berbeda. Padahal tujuannya sama, Kebaikan bersama, kenapa tidak saling rangkul? atau barangkali ada udang di balik batu kah? Semoga Indonesia menjadi Lebih baik di Era pemerintahan ini.