BANGGAKAH BEKERJA DI MEDIA NON-MAINSTREAM?
Busmillahirahmanirahiim,
Assalamualaikum wrwb,
Salam Damai Dan Sejahtera,
Teman,
Media Mainstream (media arus utama) itu  pastinya identik dengan Legalitas,  Kredibilitas, Professionalism dan Kapitalism
LEGALITAS
Sebagaimana UU.Pers No.40/1999 dan edaran Dewan Pers Indonesia (DPI) Â bahwasanya badan Usaha media haruslah PT (No.01/SE-DP/I/2014 tentang pelaksanaan UU Pers dan standar perusahaan Pers) yang dilengkapi dengan berbagai aturan lain; Edaran DPI no.1/peraturan-DP/II/2010 tentang standar Uji Kompetensi Wartawan, dsb
Bagi pemilik modal, sangat mudah untuk membuat Media Mainstream dengan Legalitas yang 'maha sempurna' sebagaimana hal diatas
KREDIBILITAS & PROFESIONALISME
Pekerja Media Mainstream khususnya para Wartawannya, adalah mereka yang memang mempunyai pendidikan khusus bidang jurnalistik baik level diploma maupun strata-1. Ditambah dengan sertifikasi dan hal lain sebagaimana anjuran Dewan Pers Indonesia atau PWI. Semua ini tidak salah, demikianlah adanya.
KAPITALISME
Media mainstream pastinya dibekali dengan kapital/modal kerja yang 'fixed. Sehingga Legalitas, official equipment, akomodasi, transportasi, dan gaji/honor pun berani diatas UMR yang berlaku termasuk bonus bonus lainnya.
Lalu bagaimana dengan teman teman yang 'hanya mampu bekerja atau menjadi Pemilik Media Non-Mainstream khususnya media online?
Dan dari jumlah itu 2.000 adalah media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk  tv lokal, dan lebihnya media online.
Berarti dari 47.000 media kemudian dikurangi 3.197 media yang tercatat di DPI , maka masih ada tersisa 43.803 media, apakah ini yang kemudian disebut dengan Media Non-Mainstream (MNM) karena tidak 'tercatat' di DPI?, Jika Betul, betapa mulianya teman teman MNM memberikan sumbangsih bagi bangsa Dan Negara ini.
Namun keberadaan pekerja MNM adalah realita yang tidak dapat dipandang 'sebelah Mata, dimana hasil kerja MNM Itu kemudian tersebar di APBN melalui pajak motor, uang sekolah anak, E-Money, Pulsa provider, PAM Jaya, Restribusi Parkir, Dsb.
Jika saja dari 131.409 pekerja MNM Itu terpangkas Rp.1 juta/bulan untuk hal diatas, maka Negara mendapat sekitar Rp.131,4 milyar/bulan atau  Rp.1,576 trilyun/tahun.
Juga,Jangan tanya tentang bagaimana militansi mereka dilapangan, Â Karena mereka pun memahami UU.Pers No.40/1999 Itu. Bagaimana mengumpulkan, mengolah data sehingga menjadi Berita Dan disebarkan kepada publika. Yang kadang Berita ini 'lalai' ditayangkan oleh Wartawan Mainstream.
Apakah para wartawan Media Mainstream (MM) juga selalu benar menetapkan UU Pers tersebut?, Tidak juga. Karena terbukti pernah ada kasus Penyiaran/penayangan hoaks. Jawa Pos misalnya, pernah wartawannya melakukan wawancara palsu. TVOne juga pernah melakukan hal serupa. Metro TV pernah menyiarkan video palsu. Mungkin bukan media itu yang berniat jahat, tapi oknum di MM itu.
Menjadi wartawan tidak perlu sekolah khusus, mendapat sertifikasi atau pengakuan khusus dari lembaga tertentu,
Karena definisi wartawan dalam UU Pers  bersifat umum, teoritis  dan bisa berbeda dalam prakteknya. Sebagai fenomena sosial, definisi wartawan harus mengikuti perubahan perkembangan zaman dan tidak bisa didefinisikan secara kaku. Di Negara maju bahkan di Indonesia era pasca Reformasi 1998 blogger lebih dibaca orang ketimbang Media Mainstream.
Maka keberadaan teman teman Wartawan MEDIA NON-MAINSTREAM tetap syah secara hukum
Wassalamualaikum wrwb,
Mohon Maaf lahir bathin.
Salam Damai!
Bandung, 22 Januari 2020
Arief P. Suwendi
-Alumni Kongres Relawan Jokowi Sedunia 2013
-Sekjend Aliansi Wartawan Non-Mainstream Indonesia