Mohon tunggu...
Nova MaulanaAfrizal
Nova MaulanaAfrizal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang konten kreator Instagram

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Santri Dilihat dari Dua Mata Sisi Berseberangan, Fakta dan Pandangan Masyarakat

16 Oktober 2022   22:55 Diperbarui: 16 Oktober 2022   23:06 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata santri menjadi suatu tittle yang tak bisa lepas dari diri seorang yang pernah menyantri. Seorang akan selamanya disandang menjadi santri. kata santri ini yang melekat pada diri seorang tak akan bisa dilepas. Orang akan melihat sebagai santri sepanjang hidupnya. Tidak ada yang Namanya mantan santri, alumni santri, dan sebagainya. Dengan bagaimanapun caranya orang menyandang sebagai santri. Perspektif masyarakat kita memandang santri sebagai seorang yang sudah memahami ilmu agama. Dan perspektif itu yang mungkin menjadi pro kontra bagi mereka yang menyandang sebagai santri.

Kita melihat dari sudut pandang pro yang melihat santri dari kebiasaannya, dari kebiasaan baiknya. Ada beberapa sifat yang melekat pada diri santri yang ditanamkan padanya saat menyantri. 

Pertama adalah sifat tawadhu, sifat rendah hati ini seperti lebel yang tertempel lekat pada diri santri. Pembelajaran tentang rendah hati ini tidak diajarkan di kelas-kelas akan tetapi sifat ini timbul dari kebiasaan santri yang dilakukannya setiap hari. Sifat rendah hati tanpa disadari akan melekat pada diri santri tanpa disadarinya, itu bisa timbul dengan melihat kyai-kyai mereka, ustaz-ustaz mereka, dan bahkan dari teman sebayanya sendiri.

Takzim kepada guru menjadi harga yang lebih tinggi dari pada ilmu tersebut. Karena mereka menyadari bahwa dengan tidak hormat dan patuh kepada guru, menjadi salah satu penutup jalan ilmu tersebut untuk masuk keotak kita. Dan bahkan bisa jadi ilmu tidak bermanfaat, jiak kita tidak takzim kepada guru kita. Akan terasa sia-sia sekali jika ilmu yang telah lama kita pelajari tidak bermanfaat. Tidak tunduk dengan guru juga bisa menjadikan ilmu tertutup untuk kita. Menjadi santri juga tatkala mendalami sifat ini, dan secara tidak langsung sudah melekat pada diri santri.

Tak terlepas dengan takzim kepada guru, kepada orang tua pun santri patuh dan menghormati. Lebih penting lagi menurut para santri adalah restu orang tua. Karena dengan restu orang tua akan membukakan semua jalan kebaikan, mulai dari rezeki sampai apa yang akan kita lalui pun tak luput dari restu orang tua. Karena menurut penulis menghormati orang tua adalah level tertinggi dari apapun tentang kehidupan ini, tentang keikhlasan, dan segala kebaikan yang ada.

Akhlakul karimah menjadi selimut tak terlihat pada diri santri. Jujur, sopan santun, berkata lembut, adalah ciri khas santri. Bukan santri kalau tidak punya akhlak, masyarakat akan bertanya, santri ko begitu, santri ko seperti itu. Maka dimanapun santri ia mempunyai akhlakul karimah, pandai menghormati yang lebih tua, menghargai sesama dan menyayangi yang lebih muda. 

Pantang baginya menyakiti hati orang lain karena itu bukan akhlak yang baik, bahkan bisa menyebabkan tidak mati khusnul khotimah, santri tahu  apa yang bisa menyakiti orang lain atau tidak, karena dia rajin mengaji dan belajar dari ulama dan kyai yang selalu mengajarkan dia hal- hal apa saja yang baik untuk orang lain dan dirinya sehingga hati-hati dalam menjaga lisan.

Jika dilihat dari kontranya, akan terlihat cukup banyak. Pasalnya tidak semua yang pernah menyantri adalah orang yang baik. Bahkan tidak sedikit juga orang tua yang memondokkan anaknya yang berlandaskan anak tersebut nakal, bandel, dan mungkin sangat susah diatur. Niat meraka untuk memondokan anaknya sangatlah baik, dan mereka akan berekspetasi tinggi akan hal ini -- bagi mereka orang tua yang sedikit mengerti tentang pondok. Ekspetasi itu akan hilang Ketika mereka melihat anak-anak mereka yang sudah di pondok 6 tahun, 7 tahun, pulang malah menjadi brandalan. Mereka akan kecewa mengetahui anak-anak mereka tidak sesuai yang mereka harapkan, akan timbul rasa kurang percaya dengan pondok dan sistemnya.

Pemahaman fatal ini membuat rusak reputasi kepondokan. Padahal jika kita telusuri lebih dalam tentang kebobrokan ini, bukan salah besar pada sistem pondoknya, akan tetapi lebih bersalah pada dirinya sendiri. 

Kenapa? Karena jika kita lihat lebih dalam lagi kesalahan tersebut dilakukan oleh dirinya. Pertama dilihat dari sirkel pertemanannya, adalah faktor paling mendasar dalam membentuk karakter santri. Dengan kesalahan mencari teman sejak awal akan mempengaruhi sirkel pertemanan selanjutnya. Kesalahan pertama bertimbul sangat berpengaruh sekali, jika tidak memfilter pertemanan maka akan terjadi kefatalan parah. 

Itu faktor pertama, dan kita lihat faktor yang lain. Faktor kedua yakni memang santri tersebut susah untuk berubah, tidak ada keinginan untuk berubah salah satu faktor paling berpengaruh. Dengan keinginan sendiri akan lebih berpengaruh sekali kedepannya. Karena perubahan seorang terletak pada dirinya sendiri, tak akan bisa orang lain merubah kepribadian santri lain. Dan bahkan Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum tersebut berubah atas dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun