Apa yang kini sedang menggelegar di kancah olah raga Indonesia? Salah satu cabang olah raga paling digemari, paling banyak membantu perekonomian Indonesia, paling banyak memiliki andil di industri olah raga Indonesia, tentu saja, sepak bola. Sayangnya, persepakbolaan Indonesia saat ini tengah dihantam “bola” secara bertubi-tubi dari berbagai penjuru.
Serangan pertama, datang dari ketidakpastian manajemen persepakbolaan nasional. Pada tanggal 18 Februari 2015, PSSI menginformasikan kepada FIFA bahwa ISL, Indonesian Super League, ditunda karena adanya BOPI yang jelas telah melanggar statuta FIFA. Ini merupakan satu bentuk keburukan budaya orang Indonesia yang suka menunda-nunda program kerjanya. Syukurnya, FIFA masih memberikan keringanan atas hal ini.
Kemudian, pada tanggal 4 April 2015, ISL berjalan tetapi 12 April kembali terhenti setelah BOPI memberika surat peringatan (8 April) kepada PSSI tentang sanksi PSSI karena dianggap memasukan 2 klub Persebaya dan Arema yang menurut BOPI tidak direkomendasikan ikut kompetisi. Semakin datang ke sini, semakin terlihat bahwa industri persepakbolaan Indonesia mulai tidak becus. FIFA sudah mulai geram.
Puncak kloter ‘serangan’ pada PSSI tiba saat kemenpora melakukan pembekuan pada PSSI. Hal ini dikarenakan banyaknya masalah di tubuh PSSI yang telah berpraktik selama bertahun-tahun. Apung Widadi, aktivis Save Our Soccer, menilai pembekuan PSSI oleh kemenpora sudah tepat dikarenakan adanya beberapa faktor. Saat ditanyai pada Senin, 20 Aprik 2015, Apung menilai ada empat faktor yang membuat PSSI pantas untuk dibekukan oleh kemenpora.
Faktor pertama adalah adanya ketidak-transparan PSSI dalam kepengurusan keuangan. Selama ini, PSSI dinilai tidak memberikan kejelasan dalam perhitungan akuntabilitasnya. PSSI dianggap tidak benar dalam melakukan pengelolaan sumber ekonomi yang diperolehnya dari APBN. Hal ini membuat kemenpora curiga dan menduga adanya biang korup dalam perekonomian PSSI.
Faktor kedua adalah buruknya manajemen PSSI dalam ISL, Indonesian Super League. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya kesalahan tata kelola yang dilakukan oleh PSSI. Sebagai contoh nyatanya saja, sudah berapa banyak berita yang memuat tentang gaji pemain liga Indonesia yang telat diberikan oleh PSSI.
Ketiga adalah masalah pengaturan gol. Apung mengatakan, pengaturan gol ini sudah terjadi dari pertandingan LSI bahkan sampai pertandingan internasional di mana tim nasional bertanding membawa nama bangsa. "Saya punya rekamannya, dan nilai pengaturannya bisa mencapai miliaran rupiah," kata dia. Menurut Apung, jika pertandingan itu melibatkan tim besar, maka biayanya semakin mahal. Karena, dari uang pengaturan uang gol, PSSI harus membayar wasit, pemain yang ikut bermain dalam pengaturan itu. "Keempat, PSSI diisi oleh orang-orang politikus," kata dia. "Makanya, tidak pernah berkembang dan minim prestasi."
FIFA masih memberikan kesempatan pada PSSI untuk menyelesaikan segala permasalahan internalnya dengan memberikan peringatan pada tanggal 4 Mei 2015. Hal ini berlaku paling lambat 29 Mei 2015 sebelum FIFA menjatuhkan sanksi pada persepakbolaan Indonesia. Meskipun demikian, persepakbolaan Indonesia masih dilanda ketidakjelasan hingga tanggal 22 Mei 2015, dilihat dari peringatan FIFA untuk kedua kalinya.
Kemudian pada tanggal 30 Mei 2015, FIFA menjatuhkan sanksi kepada persepakbolaan Indonesia karena belum memberikan kejelasan hingga batas waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini, FIFA memberikan sanksi berupa:
1. Klub dan tim nasional dilarang untuk mengikuti ajang internasional baik kalender AFC maupun FIFA.
2. Tidak bisa mengikuti program pengembangan, pelatihan, kursus oleh AFC maupun FIFA selama masa sanksi.
3. Pengecualian, timnas U-23 Sea Games masih bisa berlaga di Singapura.
FIFA masih juga memberikan keringanan pada Indonesia dengan memberikan syarat bila ingin sanksi tersebut dicabut, yakni:
1. Komite Eksekutif PSSI yang terpilih mampu mengelola urusan PSSI secara independen dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga, termasuk Menteri (atau lembaganya).
2. Tanggung jawab untuk tim nasional Indonesia wewenangnya dikembalikan kepada PSSI.
3. Tanggung jawab semua kompetisi PSSI dikembalikan wewenangnya kepada PSSI atau Liga yang berada di bawahnya.
4. Semua klub yang mendapatkan lisensi dari PSSI diperbolehkan bermain di kompetisi PSSI.
Betapa baiknya FIFA, dan betapa buruknya manajemen PSSI bila dilihat dari kronologis di atas.
Sanksi yang dijatuhkan FIFA ini merupakan tamparan besar bagi persepakbolaan Indonesia. Pasalnya, sanksi tersebut cukup memberatkan liga Indonesia yang notabene masih membutuhkan banyak pengalaman dari ajang internasional yang diadakan FIFA ataupun AFC. Hal ini berdampak besar baik bagi manajemen liga Indonesia, maupun masyarakat. Banyaknya skuad yang membubarkan dirinya, masyarakat berdemo, hingga Presiden Jokowi yang meminta langsung pada menpora untuk tidak membekukan PSSI, adalah beberapa contoh dampak dari sanksi FIFA tersebut.
Dilihat dari sudut pandang aktualitas, PSSI memang layak mendapatkan pembekuan dari menpora. Hal ini bisa menjadi batu pengalaman bagi PSSI untuk terus membenahi dirinya agar menjadi lebih baik. Namun, di sisi lain, hal ini malah membuat citra dari menpora menjadi buruk di mata FIFA karena tidak pecus menyelesaikan permasalahan persepakbolaan di negara sendiri. Pasalnya, memang menpora tidak memberikan jalan keluar yang jelas pada PSSI agar terbebas dari pembekukan tersebut. Menpora seolah memberikan tekanan, tanpa adanya kesempatan PSSI untuk bernafas sejenak dan membenahi dirinya.
Secara psikologi, baik dari sisi PSSI, menpora, maupun pemain-pemain Indonesia, hal ini memberikan banyak tekanan dari berbagai macam segi. Untuk PSSI sendiri, dibekukan oleh menpora sama saja ditendang ke kutub selatan, kemudian ditenggelamkan jauh di perairannya. Faktanya, bila PSSI dibekukan oleh menpora, PSSI tidak akan mendapatkan lagi suntikan dana maupun dukungan oleh menpora. Hal lain, PSSI tidak bisa mengadakan aktivitas tanpa bantuk menpora. Untuk menpora sendiri, sanksi dari FIFA membuat dirinya berada di ambang kenegatifan dari berbagai bidang. FIFA merupakan organisasi berkelas di dunia dalam lingkup sepak bola. Bila di mata FIFA saja menpora tidak becus mengelola persepakbolaan Indonesia, apalagi dari kalangan lainnya?
Untuk pemain-pemain sendiri, merekalah yang sebenarnya mendapatkan banyak tekanan dari sanksi FIFA tersebut. Dari segi emosi, emosi mereka pastinya banyak terguncang. Kekecewaan, amarah, tangis, kesedihan, bahkan kebencian bisa menutup jiwa mereka untuk terus berkarya. Apalagi mereka adalah tombak, pemanggul, pengangkat, dan penanggung jawab industri persepakbolaan Indonesia. Merekalah tulang punggung keluarga mereka sendiri, penopang kehidupan keluarga dengan pekerjaan mereka sebagai pemain sepak bola. Apabila dengan sanksi dan pembekuan tadi, mereka tidak bisa lagi bermain, tidak mendapatkan pundi-pundi uang, ataupun kebahagiaan yang biasa mereka dapatkan dari permainan-permainan biasanya.
Akhir kata, penulis hanya ingin mengingatkan bahwa bagaimanapun masyarakat menanggapi keputusan-keputusan dari berbagai pihak, tetap ingat bahwa setiap keputusan pasti ada alasannya. Jangan melihat dari sudut pandang diri sendiri saja, tapi dari segala macam penjuru juga. Semua keputusan yang diberikan pasti ada manfaatnya untuk terus memberikan yang terbaik dalam berkarya. Jadikan itu sebagai motivasi untuk kedepannya. Bila terus mengeluh dan marah, lalu inginnya dimanjakan saja, bagaimana persepakbolaan Indonesia bisa maju? Terkadang, memang dibutuhkan tekanan dan kabar buruk untuk bisa mawas diri dan lebih berhati-hati kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H