Mohon tunggu...
Deiny Setiyawan
Deiny Setiyawan Mohon Tunggu... -

A student of Akademi Siswa Bangsa Internasional | An amateur writer who has lot of imagination | A day-dreamer photographer who looks for perfection | A gembel backpacker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melihat Wajah Ayah

24 November 2014   11:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:00 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah delapan tahun, sejak wajah itu benar-benar meninggalkanku selamanya. Bila semuanya masih saja penasaran, aku akan mengungkapnya kembali. Ini terjadi ketika aku tak menyadari apa artinya kepentingan, kehidupan, dan keputusasaan dalam ranah peninggalan jiwa. Latarnya pun beda dari sekarang, bila sekarang aku tidak lagi menjejaki tempat kejadian kala itu karena pendidikan–orang bilang sesuatu yang tabu karena hanya formalitas untuk sebuah surat dengan catatan nilai berjajar rapi tiap kolomnya– tetap saja rasa itu pasti ada. Rasa ketakutan itu.

Delapan tahun lalu, pagi itu tepatnya, aku memandang wajah-wajah bahagia itu dan semuanya berjalan seperti biasa. Semuanya baik-baik saja, Ayah pasti sembuh, pikirku. Di dapur ini, baru saja aku mengikatkan janji dengan kakak perempuanku. Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Sebuah posisi yang menyebalkan mengingat aku terus-terusan menjadi bahan “kekalahan” dari kedua kakakku. Dua kakakku ada di sini, bersamaku, bercanda tawa denganku, dan saling mengejek tentunya. Kakak perempuanku berjanji akan mengajakku menjaga Ayah di rumah sakit malam ini, sama seperti hari-hari lalu. Sudah seminggu Ayah sakit dan memaksa kami untuk melakukan penjagaan bergantian di rumah sakit. Iya, dia pasti sembuh mengingat hanya itu yang ada di pikiranku. Selesai sarapan, kami bergegas pergi, aku dan kakakku laki-laki ke sekolah, kakakku perempuan bekerja, sedangkan Ibu ke rumah sakit menjaga Ayah.

Aku duduk di kursi yang sama, seperti hari-hari yang lalu. Kursi ini, di deretan kedua dari depan, dan ketiga dari kanan. Duduk di sini membuatku sedikit nyaman dan aku berhasil melupakan sedikit masalahku. Baru saja bel sekolah berbunyi, rasa semangatku sudah amat meluap. Pelajaran pertama dimulai begitu saja, tanpa terasa bahwa guru itu tengah berbicara di depan.

Hingga ketika, jam pelajaran ketiga berlansung. Guru wanita dengan rambut pendek sebahu dan dandanan layaknya guru olahraga normal datang. Tak biasa memang, pasti ada yang penting mengingat dia langsung saja berbisik pada guruku yang tengah mengajar di depan. Sejengkal nafasku, aku dipanggilnya.

Ini pasti kabar gembira, pikirku. Biasanya, murid dengan panggilan dadakan seperti ini sedang sangat diperlukan oleh sekolah. Aku menanti saat seperti ini. Minggu kemarin, ada seorang anak yang dipanggil dadakan seperti ini dan ternyata dia mendapat beasiswa. Barangkali aku mendapat beasiswa bantuan pendidikan sama sepertinya, agar aku tidak terlalu membebani ibuku yang tengah fokus terhadap pengobatan Ayah.

Guru olahragaku menuntun sampai di depan kantor kepala sekolah. Kulihat Mas Uuk, tetanggaku berdiri di sana sembari tersenyum pada kepala sekolahku. Bagaimana Mas Uuk ada di sini? Pikirku dalam hati. Lantas, dia menggandengku dan mengajakku naik motor. Sekilas aku tidak tahu akan dibawa ke mana aku. Tapi dari arahnya, aku tahu. Aku dibawa pulang.

Di pekarangan rumahku, aku bisa melihat belasan orang menangis tersedu-sedu. Mereka tetanggaku. Salah seorang dari mereka menggandengku dan langsung memelukku. Aku tidak mengerti. Aku hanya bisa menatap mereka dengan wajah datar dan ekspresi bingung. Beberapa orang yang lain mengatakan padaku tentang kesabaran. Sabar untuk apa? Aku semakin tidak mengerti. Aku melangkah masuk ke dalam rumah dan kulihat semakin banyak orang. Mereka semua menangis. Nenekku yang tadinya duduk langsung berdiri menghampiriku dan memelukku dengan air mata yang menghujam. Hingga aku tersadar apa maksud dari kesedihan ini. Ayah meninggal pagi ini, ibuku berkata demikian sesaat setelah aku duduk di sampingnya.

Aku menangis sekencang-kencangnya. Aku tak peduli bila semua penjuru harus mendengarnya. Orang-orang mencoba menenangkanku, tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menahan ini semua. Beberapa saat kemudian, kakak laki-lakiku datang dan langsung menangis. Tak ada yang lain, hanya hujan, hujan, dan hujan air mata tak terbendung dari wajah kami semua.

Kudengar sayup-sayup suara ambulan. Ayah datang, dengan keadaan terbujur kaku terbungkus kain berwarna putih. Ibu tak kuasa menahan semuanya. Kesetiaannya pada suami tercinta, dibuktikan dengan kedatangannya yang tak pernah lelah setiap hari demi menjaga Ayah, kandas begitu saja. Hampir saja Ibu pingsan di tempatnya setelah jenazah Ayah di letakkan di tempat tidur kayu itu. Di ruang tamu ini, ruang tempat di mana kami semua biasa berkumpul menghabiskan waktu bersama Ayah, pecah dan larut dalam air mata menyaksikan tubuh itu kaku.

Aku tidak tega melihat apa yang ada di depanku, Ayah. Aku memalingkan wajahku yang terguyur air mata ke manapun asal tidak ke tubuh itu. Aku tidak kuasa. Dibelakangku, kulihat kakak perempuanku, yang mengikat janji bersamaku pagi tadi, berlumuran air mata. Tapi ia tegar, ia tak bersuara sedikitpun. Kupikir ia terlalu sedih hingga tidak bisa berkata-kata lagi. Kenangan itu, senyuman itu, wajah itu, berubah menjadi wajah yang amat tragis. Aku melihat wajah Ayahku, wajah Ayah yang kaku tanpa ekspresi. Aku takut, benar-benar takut. Hatiku berdegup kencang. Aliran darahku memompa hebat ketika aku melihatnya. Aku, benar-benar dalam ketakutan.

Itu adalah hari paling menakutkan dalam hidupku, ditinggal orang yang sangat aku sayangi. Sejak saat itulah keadaan ekonomi keluarga makin memburuk. Aku tidak lebih dari siswa yang selalu mencari bantuan. Aku mengandalkan otakku, mengandalkan pikiranku, semuanya. Sekitar sembilan puluh persen kugunakan selalu untuk berdoa dan mengingat Ayahku, dan sisanya kugunakan seperlunya untuk kepentingan lainnya. Begitulah rasanya, bukan hanya sinetron yang sering kutonton dengan Ayah, tapi hal itu benar-benar terjadi. Aku jadi anak yatim. Pengalamanku berhadapan langsung dengan Ayah untuk yang terakhir kali, amat berkesan.

Berdasarkan kisah nyata, diceritakan oleh Deiny Setiyawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun