Mohon tunggu...
Teguh Hartono Patriantoro
Teguh Hartono Patriantoro Mohon Tunggu... profesional -

Modern and Independent\r\nwww.soundvillages.webs.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Feminisme dalam Berkesenian

11 Juli 2013   13:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:42 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Feminisme sebagai sebuah gerakan filsafat pertama kali dipelopori oleh Lady Mary Worley Montagu dan Marquis de Condorcet pada era Pencerahan di Eropa. Hal yang mereka perjuangkan adalah universal sisterhood, yakni gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria, khususnya dalam masyarakat yang sifatnya patriarki. Kata feminisme, pertama kali dideklarasikan oleh penganut sosialis utopis yakni Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of  Women (1869). Alasan tersebut lebih dikarenakan Perempuan selalu berada dalam posisi inferior yang serba salah dan memiliki daya tawar yang lebih rendah daripada laki-laki.

Munculnya pendeskreditan wanita terhadap laki-laki seperti itu terjadi juga dalam hal bermusik. Sebagai contoh adalah kehidupan sinden, penari jaipong, penari sintren, dan lain sebagainya. Setiap kali mereka tampil di depan panggung, mereka selalu dianjurkan untuk duduk bersimpuh dan tidak boleh membuka aurat lebar-lebar seperti apa yang dilakukan oleh kaum adam. Fenomena seperti ini nampaknya bertentangan sekali dengan gerakan emansipasi kaum hawa di Indonesia yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Ideologi yang diperjuangkan oleh beliau adalah partisipasi kaum wanita supaya tidak selalu diterjemahkan sebagai “konco wingking”. Penempatan Sinden panggung yang diberlakukan seperti itu sebenarnya adalah pelanggaran hak asasi seseorang dalam berkesenian, walaupun hal tersebut selalu dibenturkan dengan etika dan adat ketimuran yang sebenarnya membelenggu kaum wanita.

Fenomena lain yang menceritakan tentang adanya stratifikasi status pria dan wanita dalam bermusik adalah penempatan nama keluarga yang selalu dinilai oleh masyarakat sebagai faktor utama penentu keberhasilan. Sebagai contoh adalah: seorang Gita Gutawa yang akhir-akhir ini menjadi populer. Masyarakat umum selalu menilai bahwa Gita merupakan putri seorang komposer Erwin Gutawa, yang secara langsung dapat meraih prestasi gemilang dari penggunaan nama Gutawa dibelakangnya sebagai jaminan terhadap karyanya. Dalam hal ini kita menjumpai fenomena dimana orang yang tidak pernah memahami kesuksesan wanita sebagai pribadi yang lepas dari nama besar keluarganya.

Fenomena-fenomena tersebut merupakan contoh kecil adanya stratifikasi gender dalam berkesenian. Adanya pembedaan status antara pria dan wanita dalam bermusik pada dasarnya adalah tindakan yang kurang etis, mengingat alat musik dan kesenian tidak memiliki jenis kelamin; oleh karenanya dalam bermusik kita juga tidak boleh membedakan status antara pria dan wanita. Mungkin selama ini kita hanya menilai Feminitas seorang wanita apabila mereka menggunakan rok ataupun daster, tetapi apakah mereka juga tidak menjadi perhitungan apabila sebagian besar dari mereka ada yang sukses dalam karir bahkan sampai menjadi seorang pemimpin negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun