Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... lainnya -

hidup adalah pilihan.. kebanyakan bukan soal salah ato benar.. tergantung kita mau memilih yg mana.. yg terpenting adalah konsekuensi dr setiap pilihan.. bisakah kita mengantisipasi konsekuensi pilihan kita?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Diskusi Senin Pagi; Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

17 Oktober 2010   05:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:22 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

jogja, 20 september 2010 sugeng injing para sedherek... bangsa kita adalah bangsa yang sangat toleran... sangat permisif dalam banyak hal... sebuah bukti bahwa nurani begitu mengedepan dalam kehidupan keseharian, rasa belas kasih begitu mendarah daging dalam darah kita... bener po ora? banyak hal yang terlandasi dengan sikap itu! sampai pada hal2 yang seharusnya butuh sebuah kepastian dan tidak boleh ada toleransi... *** dalam sebuah 'kebijakan' misalnya, rasa toleransi dan permisif ini terwujud dalam sebuah 'kebijaksanaan'. kebijakan yang seharusnya merupakan sebuah ketetapan menjadi rancu dengan adanya 'kebijaksanaan'... kita bahkan sangat mahfum dengan kalimat... "saya tau pak aturannya memang begitu, tapi saya mohon kebijaksanaan dari bapak..." sungguh sebuah jebakan... dua kata tersebut keliatannya emang mirip, bahkan dalam beberapa kesempatan pakar tata negara kita sering keliru memakai keduanya. 'kebijakan' dalam bahasa inggris berasal dari kata 'policy', sedang kebijaksanaan berasal dari kata 'wisdom'. wisdom lebih cenderung dan lebih tepat mengarah pada seseorang ato melekat pada sebuah individu, sedang policy cenderung dan lebi tepat melekat pada sebuah organisasi dan ato negara (pemerintah). 'kebijaksanaan' versi kita lebih cenderung untuk mengobrak-abrik tatanan yang sudah ada, mengaburkan kepastian hukum... yang seharusnya terbangun dalam sebuah 'kebijakan'. *** dalam sebuah kesempatan sosialisasi askeskin (asuransi kesehatan keluarga miskin) di sebuah puskesmas, saya mengumpulkan seluruh perangkat desa (lurah dan carik) untuk mensosialisasikan kriteria keluarga miskin (gakin) yang akan ditetapkan sebagai peserta jaminan kesehatan ini, yang selanjutnya setiap gakin akan ditetapkan sebagai peserta dengan mendapat sebuah kartu peserta askeskin. hanya pemegang kartu askeskin saja yang akan dapat memanfaatkan fasilitas jaminan kesehatan tersebut. apa yang terjadi??? sebuah keributan yang sangat huebooh! para perangkat desa tersebut protes keras! "kenapa harus ada 'kartu peserta?" "kenapa tidak bebas seperti dulu saja?" setelah reda... baru mereka mengutarakan keberatannya... "kalo dengan kartu peserta yang sudah ditetapkan dari awal, kami kan jadi tidak bisa memasukkan peserta lagi di tengah program berjalan...," alasan keberatan mereka sebagaimana diutarakan salah satu lurah. usut punya usut... mereka, para perangkat desa tersebut, lurah dan carik tersebut... takut tidak terpilih lagi pada periode berikutnya! apa pasal? mereka menggunakan 'askeskin' sebagai salah satu senjata 'kebijaksanaan' mereka. para lurah dan carik menggunakan kekuasaannya untuk mengeluarkan 'kebijaksanaan' pada masyarakat 'pendukung'nya. oalaaaaaah...! makanya jangan heran bila di rumah sakit melihat pasien askeskin dengan atribut perhiasan mencorong menelpon sodaranya dengan blackberry terbaru! ato justru pasien rawat inap pemegang kartu askeskin yang diantar dengan mobil pribadi. kita memang bangsa yang sungguh bijaksana. piye jal? -papa- *tulisan ini berdasarkan kejadian sungguhan saat saya masih menjadi kepala puskesmas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun