Akhir-akhir ini semakin marak terjadi, tindakan pendisiplinan yang dilakukan guru terhadap murid malah diprotes oleh orang tua si murid. Tidak jarang hal semacam ini berujung pada dilaporkannya sang guru oleh orang tua murid kepada kepolisian, dan sang guru menghadapi tuntutan hukum. Bahkan ada orang tua melakukan tindakan main hakim sendiri.
Kemudian banyak dari kita yang mengeluh, “Jaman saya muda dulu, kalau saya salah, nakal atau dapat nilai jelek di sekolah, sama orang tua lebih dimarahi lagi. Kalau saya dicubit guru di sekolah, saya dicambuk orang tua di rumah. Sekarang sebaliknya, guru yang dipukuli atau malah dipolisikan.”
Saya sependapat dengan keluhan tersebut. Tetapi celakanya, fenomena ini terjadi bersamaan dengan maraknya kasus-kasus kekerasan yang kelewat wajar di sekolah, beberapa bahkan merupakan pelecehan seksual. Dan tidak sedikit yang dilakukan oleh pihak guru maupun sekolah. Akibatnya orang tua bereaksi kebablasan terhadap tindakan disipliner apapun juga: mereka merasa mendapat angin untuk mendapatkan kompensasi yang setimpal (atau lebih).
Belum lagi masalah akademis. Banyak terjadi juga guru-guru yang sangat kaku dalam memberikan pengajaran akademis (misalnya matematika) sehingga menyalahkan begitu saja siswa yang memecahkan soal dengan cara yang lebih kreatif. Wajar jika orang tua protes (dulu orang tua saya juga begitu), tetapi sekarang mereka mengunggah PR atau ulangan anaknya di media sosial, dan netizen ramai-ramai mem-bully sang guru. Lagi-lagi guru yang lurus terkena imbasnya: orang tua sinting yang mendukung anaknya menyontek merasa berhak mengancam para guru.
(Sebuah posting di Facebook tentang cara kreatif memecahkan soal matematika membuat saya terkejut. Bukan caranya, tetapi tagline yang digunakan akun tersebut dengan provokatif berujar, “Salahkan guru kamu jika tidak mengajarkan ini di sekolah!!! Sebarkan!!!”)
Bahkan di luar sekolah, mereka bisa sama gilanya. Istri saya yang bekerja di penerbit buku sering mengadakan lomba untuk anak seperti menggambar dan mewarnai. Ternyata banyak orang tua yang menganggap itu lomba sungguhan, bukan sarana menyalurkan bakat. Jadi ketika anak mereka “kalah”, cara mereka memprotes istri saya bisa lebih sadis daripada Jose Mourinho memprotes wasit. (Istri saya pernah mendengar kasus yang lebih gila: mereka memasang “joki” kalau hadiah perlombaannya berupa uang tunai.)
Ternyata fenomena tersebut bukan monopoli tanah air kita saja. Saya tidak tahu apakah karikatur di atas sebenarnya buatan anak bangsa kita tetapi dibuat mirip orang bule, atau memang karya orang di sana. Tetapi saya mendengar dan membaca kasus-kasus serupa di luar negeri, walaupun dalam bentuk lain.
Tahun lalu, administrasi Universitas Yale mengedarkan surat yang intinya menghimbau mahasiswa di asrama untuk tidak memakai kostum Halloween yang “menyinggung etnis atau ras tertentu”. Sepasang suami-istri profesor yang bekerja sebagai pembimbing akademik kampus menanggapi surat itu dengan mengirim e-mail kepada administrasi. Intinya, tidak usahlah kampus mengatur sampai urusan begituan. Kalau memang ada yang tersinggung, toh mahasiswa sudah dewasa dan bisa menyelesaikan perselisihan demikian secara baik-baik.
E-mail tersebut mendadak menjadi viral dan membuat gempar para mahasiswa, khususnya kaum minoritas (Hispanik, Asia, Afrika dan sebagainya). Para aktivis hak-hak sipil kampus menuduh pasutri profesor tersebut rasis. Mereka mengatakan bahwa setelah e-mail itu beredar, beberapa mahasiswa minoritas menjadi “tidak bisa tidur, kesulitan belajar, stres, depresi dan mengalami kehancuran mental.” dan menuntut keduanya dipecat.
Puncaknya adalah ketika beberapa mahasiswa menuntut sang suami minta maaf di depan umum karena e-mail tersebut (istrinya yang mengirim). Seorang mahasiswi (kulit hitam) membentak sang profesor karena gagal menciptakan rumah yang nyaman dan aman di kampus. Para netizen tidak habis pikir: bagaimana mungkin anak cengeng ini bisa masuk Yale? Kehidupan kampus itu berat dan keras. Kalau ingin rumah, pulang saja sana ke orang tuanya. Masa cuma gara-gara e-mail begitu ia sampai depresi?
Nampaknya cita-cita luhur untuk mereformasi pendidikan sehingga bebas dari tindakan kekerasan atau bullying dan menghasilkan generasi muda yang cerdas dan berkualitas, ternyata dibaca oleh banyak orang tua sebagai pendidikan yang memanjakan anak dan menjamin penilaian akademis yang tanpa cela.