Saya mengenang beberapa waktu yang lalu, ketika banyak diberitakan kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara sepeda motor yang ugal-ugalan - beberapa diantaranya bahkan masih anak-anak - sehingga mereka tewas mengenaskan. Saya miris membaca berbagai komentar di dunia maya, karena tidak sedikit yang bernada sok filosofis, kira-kira begini: "Walaupun manusia sudah berencana, kalau Tuhan sudah menetapkan takdir, tidak mungkin dilawan."
Kenapa saya miris? Karena - walaupun secara teologis ada benarnya - mereka bisa memberikan persepsi berbahaya bahwa tidak ada gunanya berhati-hati dan mengantisipasi, karena toh semuanya telah ditentukan Tuhan. Jadi untuk apa repot-repot berkendara sesuai batas usia minimum, memakai helm dan menaati peraturan lalu lintas? Mau setertib apapun kalau Tuhan menghendaki dia mati tertabrak truk, bisa apa? (Kadang-kadang ini diikuti dengan argumen lebih baik memperbanyak amal ibadah, tanpa sadar bahwa menaati peraturan lalu lintas dan menghormati sesama pemakai jalan adalah amal ibadah juga.)
Seolah-olah menyalahkan Tuhan? Tidak, takdir Tuhan tidak pernah salah. Yang salah, tentu saja, adalah pengendara mobil yang tidak melihat motor yang datang tiba-tiba tanpa lampu dari arah berlawanan, atau pemerintah yang 'menjebak' pengendara motor dengan berbagai larangan yang 'terpaksa' mereka langgar. Kalau sudah berserah pada takdir Tuhan, tanggung jawab bisa dilemparkan kepada pihak lain yang seharusnya mengalah pada pelanggaran-pelanggaran mereka.
Kecelakaan yang menimpa Airbus A320 Indonesia AirAsia QZ8501 telah menghasilkan ribuan - mungkin jutaan - komentar. Terlebih dengan maraknya liputan pers dan tautan di berbagai media sosial oleh masyarakat umum. Banyak pengamat (bhs. Inggris: pundit), baik yang tergolong pakar, sekedar hobi, atau sekedar memanfaatkan kebebasan politik mengeluarkan pendapat, ramai-ramai angkat suara. Apakah mereka peduli pada keluarga korban yang kena musibah, regu penyelamat yang bersusah-payah, maskapai yang menanggung rugi, pemerintah yang mengkoordinasi dan otoritas penerbangan yang menyelidiki? Tidak. Mereka ramai-ramai mencecar (entah positif atau negatif, tetapi tetap saja mencecar) seperti teman-teman Ayub yang seolah-olah "menghibur" tapi malah menambah berat penderitaannya.
Pertama yang paling cepat keluar adalah tuduhan siapa yang salah: pemerintah atau maskapai. Segera menyusul tuduhan bahwa pemerintah pusat, lokal dan otoritas penerbangan hanya melakukan pencitraan terkait usaha evakuasi dan investigasi kecelakaan. Hal ini segera dibalas pemberitaan tandingan yang menyanjung para pejabat yang turun ke lapangan. Masih ditambah lagi berbagai "teori konspirasi". Ada yang mengatakan kecelakaan ini adalah "tumbal" kemenangan Jokowi dalam pemilihan presiden 2014. Ada yang bilang pesawat itu kena kutuk dari Tuhan. (Salah satunya sebuah situs ekstremis Kristen, karena banyak penumpangnya yang Kristen, bahkan ada keluarga pendeta dari Korea.) Saya mohon maaf dan mengaku bahwa sejujurnya sempat terpikir oleh saya untuk menulis sebuah artikel sarkastis berupa teori konspirasi yang menghubung-hubungkan kecelakaan ini dengan harga BBM dan kapitalisme global, untuk mengejek para ekstremis yang percaya begituan. Tetapi demi menghormati keluarga korban, saya urungkan niat itu. Sekali lagi saya mohon maaf.
Saya jadi ingat ketika Sukhoi SuperJet 100 jatuh menabrak Gunung Salak. (http://en.wikipedia.org/wiki/Mount_Salak_Sukhoi_Superjet_100_crash) Mentang-mentang Gunung Salak dekat Bogor (artinya dekat Jakarta), enak betul orang menuduh tim evakuasi payah dalam mencari pesawat itu. Pikirnya naik Gunung Salak itu sama saja jalan-jalan ke kebun teh di Puncak! Istri saya, yang tumbuh besar di Bogor dan gemar naik gunung, mengomel. Walaupun tidak tinggi, Gunung Salak adalah gunung berapi yang sudah mati, curam dan berbahaya, serta di beberapa titik dapat mengeluarkan gas beracun. Gunung itu sendiri sudah terkenal sebagai "kuburan pesawat". Lalu muncul teori konspirasi bahwa Boeing (Amerika) dan Airbus (Eropa) mensabotase pesawat itu karena takut menyaingi produk mereka. Kali ini giliran saya yang mengomel, karena saya punya latar belakang akademis kedirgantaraan. Pesawat itu banyak memakai komponen buatan Amerika dan Eropa, bahkan banyak komponennya yang sama dengan yang dipakai kedua pabrik besar itu.
Tetapi yang paling membuat saya geram (dan malu) adalah pendapat para ahli, termasuk di dalamnya adalah sesama rekan aeronautical engineer (insinyur kedirgantaraan), yang nekat membuat hipotesis yang tidak hati-hati, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan menyetujui salah satu teori-teori konspirasi tersebut. Beberapa diantaranya bahkan mempertahankan pendapat mereka mati-matian ketika ada yang mempertanyakan kemungkinan lainnya, padahal kotak hitam belum juga ketemu. (Tetapi ketika pemerintah menyelidiki legalitas prosedur penerbangan tersebut - yang bukan aspek engineering -Â mereka menuduh pemerintah melangkahi KNKT.) Apakah mereka tidak sadar jika pernyataan mereka bisa dipersepsikan macam-macam oleh masyarakat awam, apalagi dengan pemberitaan media yang gemar memelintir dengan bias ini-itu?
Saya sebutkan sebagian hipotesis mereka di sini. (Tidak semuanya diliput media, tetapi ada yang beredar di media sosial atau chat group seperti BlackBerry atau WhatsApp.) Yang pertama dan cukup santer adalah soal jatuh ke laut. Ada yang nekat membuat hipotesis pesawat itu tidak mungkin hancur kalau jatuh ke laut, karena bisa mengapung. Secara teknis pesawat memang dibuat kedap udara dan kedap air. Karena itu dalam kartu keselamatan di kursi penumpang, ada petunjuk untuk evakuasi kalau pesawat mendarat darurat di air (ditching). Tetapi ini dengan catatan: pesawat mendarat di air dalam sudut (hampir) datar, kecepatan horizontal dan sink rate (kecepatan vertikal) di bawah batas maksimum, dan cuaca dan permukaan air tenang; maka pesawat bisa mengapung sekitar setengah jam. Jika sudutnya terlalu tajam, pesawat akan langsung tenggelam. Jika terlalu cepat turun, air akan menjadi seperti batu dan bisa menghancurkan bodi pesawat. Jika cuaca sudah tidak karuan, apalagi di laut, semua faktor negatif itu bisa bergabung jadi satu. Anda bisacari sendiri berbagai kasus pendaratan darurat di air: ada yang utuh (http://en.wikipedia.org/wiki/US_Airways_Flight_1549), tapi ada juga yang patah jadi beberapa bagian (http://en.wikipedia.org/wiki/Pan_Am_Flight_6, http://en.wikipedia.org/wiki/Lion_Air_Flight_904). Tetapi mereka dengan enaknya merasa yakin dengan teori dasar desain pesawat, lalu menyalahkan berbagai pihak: pilot yang tidak becus, pabrik pesawat yang cacat produksi, maskapai yang nekat, dan pemerintah yang lalai.
Komentar lain yang bahkan lebih murahan baru saya dengar pagi ini. Seorang rekan mengetahui dari berita bahwa ada ahli (pengamat) yang mengatakan kalau Airbus A320 adalah pesawat tercanggih yang anti-badai! Gila! Apa pernah Airbus mengeluarkan pernyataan seperti itu? Benar, A320 adalah pesawat penumpang pertama yangmenggunakan teknologi fly-by-wire (FBW) digital, tetapi teknologi ini sudah sangat umum sekarang, sementara A320 sendiri adalah desain dari akhir dekade 1980-an. Saya perlu jelaskan, FBW adalah sistem kendali yang menghubungkan tuas kemudi di kokpit dengan aliran listrik untuk menggerakkan sirip-sirip kendali di sayap dan ekor pesawat. Tujuannya adalah menggantikan mekanisme manual dan hidrolik yang berat dan melelahkan pilot. Kinerja FBW digital memang diatur komputer, tetapi tidak lantas mengubah pesawat menjadi robot yang super pintar! Apalagi anti-badai! Pernyataan bodoh macam apa ini!? Bukankah orang awam lantas berpikir A320 seharusnya bisa menembus awan cumulonimbus, atau bahkan tornado sekencang F5 sekalipun? Apa mereka tidak pernah lihat pesawat jumbo jet yang jauh lebih besar mendarat seperti pincang karena tertiup angin biasa? (https://www.youtube.com/watch?v=la-hSjKP2TU)
Yang juga ramai dibicarakan adalah soal pelacakan pesawat. Saya sependapat (sebagaimana sudah disuarakan banyak pihak sejak menghilangnya Boeing 777 Malaysia Airlines MH370) bahwa sudah saatnya sistem pemancar posisi dan kondisi pesawat, terutama saat keadaan bahaya atau kecelakaan, ditingkatkan kemampuannya. Tetapi banyak pengamat (tidak sedikit yang dari luar negeri) menganggap hal ini semudah membalikkan telapak tangan dan menyebarkan opini jahat bahwa maskapai dan pabrik pesawat terlalu pelit untuk menginvestasikan hal ini. Menurut mereka, dengan majunya teknologi seluler dan mobile internet saat ini, memancarkan distress signal dari FDR (kotak hitam) bisa semudah memancarkan sinyal WiFi atau ponsel. Bahkan ada praktisi IT yang mengatakan, penguat sinyal bisa menggunakan yang ada di pasaran (seolah-olah bisa dengan mudah didapat di Glodok atau Mangga Dua), sementara pengiriman datanya menggunakan bahasa pemrograman sehari-hari seperti Java dan SQL. Seorang rekan aeronautical engineer bersusah-payah menjelaskan bahwa yang harus dikirim bukan sekedar koordinat atau sinyal, tetapi data telemetri yang begitu banyak (posisi, kecepatan, ketinggian, kondisi sekitar dll.) Mengirimkan data sebesar itu melalui pita gelombang elektromagnetik tidak semudah menangkap sinyal ponsel (apalagi menembus permukaan air). Yang paling tepat, efektif dan efisien, ya satelit. Tetapi perlu diingat, pesawat terbang melintasi wilayah yang sangat luas, yang berarti melewati berbagai cakupan satelit yang berbeda-beda (termasuk negara pemiliknya). Ini tidak semudah mencari sinyal GPS gratisan karena perlu meminta slot dari negara yang punya satelit. Diperlukan komitmen internasional untuk memperbaiki aspek keselamatan penerbangan yang satu ini.
Tetapi mereka tetap saja tidak mau tahu. Mereka (dan sebagai akibatnya, masyarakat awam) membuat hipotesis gamblang. Pesawat seharusnya tahan cuaca, kok ini masuk awan saja bisa jatuh? Apalagi tenggelam, kan seharusnya mengapung? Pasti desainernya bodoh. Lalu kenapa sulit mencarinya? Karena teknologi pengiriman sinyalnya masih kuno. Pasti gara-gara maskapai dan produsen cuma cari untung. Akibatnya penumpang dan awak yang sebetulnya bisa selamat mati tenggelam, kelelahan atau kedinginan (hipotermia), karena kelamaan mencarinya. Tidak peduli bahwa sekalipun langsung ketahuan lokasinya tetap saja sulit melakukan evakuasi secepat mungkin. Bahkan seharusnya, pabrik pesawat wajib memasang kursi lontar dan parasut untuk semua penumpang (termasuk bayi) serta seragam pramugari seharusnya bukan rok panjang yang menyulitkan saat evakuasi. (Opini seorang awam ini dipublikasikan oleh sebuah media nasional yang bonafide, entah apa maksudnya.)