Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Perempuan Internasional: Sebuah Penghargaan untuk Perempuan yang Bekerja atau Tidak

8 Maret 2016   20:57 Diperbarui: 8 Maret 2016   21:00 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saya menulis ini di bulan Februari untuk diterbitkan pada Hari Kartini, tetapi berhubung Hari Perempuan Internasional datang lebih dahulu, maka saya terbitkan sekarang saja.

Waktu itu saya melihat teman saya membagikan status temannya di Facebook. Temannya membuat sebuah ilustrasi yang mendukung ibu rumah tangga yang tidak bekerja.

Ilustrasinya kira-kira begini: Suami bekerja, gaji Rp 4 juta. Istri juga bekerja, gajinya Rp 3 juta. Kemudian sang istri memutuskan berhenti bekerja. Lalu apakah keluarga itu menjadi kekurangan? Tidak! Gaji suami kemudian menjadi Rp 7 juta! Jadi cukup! Dari mana pendapatan suami tiba-tiba menjadi naik? Dari Allah! Allah mampu membuka pintu rejeki dari mana saja, entah suami naik pangkat, dapat kontrak baru, bekerja di perusahaan yang lebih hebat dan sebagainya, tetapi intinya sumber nafkah adalah murni suami. Jadi istri yang bekerja untuk menambah penghasilan keluarga itu mengada-ada dan bahkan melecehkan kuasa Allah!

Saya tidak habis pikir dengan cara pandang yang sangat naif seperti ini. Tapi baiklah kita membahas dari sudut pandangnya sendiri.

Saya sependapat bahwa rejeki, berkat, rahmat, apapun konsep anda tentang kecukupan di dunia ini adalah atas kehendak Sang Khalik. Nah justru itu saya ingin bertanya, jika ia konsisten dengan konsep tersebut, menurutnya gaji istri yang Rp 3 juta itu asalnya dari mana?

Apakah ia menganggap uang itu haram? Jika demikian bagaimana ia menjelaskan hal-hal ini?

Apakah ia dulu pernah sekolah? Apakah ketika itu ia diajar seorang ibu guru? Seorang perempuan yang mencari nafkah dengan mengajar anak-anak? Apakah ia menganggap ibu guru itu berdosa karena bekerja, terlebih lagi jika sudah berkeluarga, dan lantas membuang semua ilmu dan nilai-nilai kehidupan yang telah diajarkan sang ibu guru? (Kelompok ekstremis seperti Taliban, Boko Haram dan ISIS memang secara spesifik menyerang dan membunuh murid-murid perempuan dan ibu-ibu guru di sekolah karena pandangan semacam ini.)

Apakah ia melahirkan di rumah sakit atau rumah bersalin? Bukankah ia di sana ditolong oleh bidan atau perawat? Apakah ia lantas melupakan jasa-jasa para perempuan yang seringkali lembur semalam suntuk demi memastikan keselamatan dirinya dan bayinya, hanya karena mereka berdosa dari mencari nafkah?

Apakah ia berbelanja di pasar atau mal, membuatkan baju ke penjahit, atau pergi ke salon atau spa? Siapa lagi yang paling banyak ia jumpai berjualan di pasar, melayani di kasir, menjahitkan kain sampai jadi baju yang indah, dan memberinya perawatan rambut, wajah dan kulit yang terbaik kalau bukan perempuan? Kalau ia membayar mereka atas barang dan jasa yang mereka jual, berarti ia mendukung mereka berbuat dosa? Atau bahkan sampai tidak mau membayar karena tidak mau uangnya menjadi uang haram?

Terlepas dari statusnya sebagai ibu rumah tangga, apakah ia punya pembantu? Saya tahu banyak ibu rumah tangga yang tetap mempekerjakan asisten rumah tangga. Apakah ia mengomel kalau si pembantu mengundurkan diri karena ingin menikah? Bukankah seharusnya ia mendukung keputusan si pembantu untuk mengikuti jejaknya menggantungkan nafkah pada suami?

Bagaimana dengan sesama ibu rumah tangga yang punya bakat tertentu dan ingin menyalurkan bakatnya menjadi sesuatu yang bernilai? Mereka membuat boneka, hiasan lucu, pakaian anak, cemilan sehat dan sebagainya yang bisa dijual dan menghasilkan keuntungan yang bermanfaat, bukan hanya untuk keluarganya tetapi juga banyak orang. Atau paling sederhana: ibu-ibu yang suka berjualan online dari rumah. Jika di rumah mereka punya banyak waktu senggang, apakah uang yang dihasilkan dari memanfaatkan waktu untuk sesuatu yang berfaedah itu tetap haram?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun