Hari sabtu ini saya bangun pagi dan memasak cap cay rumahan untuk anak saya yang berumur 3 tahun, setelah itu mandi dan bersiap mengantar istri yang hari sabtu harus bekerja setengah hari. Sepulang mengantar istri, anak saya minta telur dadar sebagai teman sarapan cap cay.
Setelah sarapan, waktunya dad & son bonding, yay! Kami main sepeda di jalan kompleks, lari-lari di lapangan bola milik TNI dan melihat alat berat di lokasi pembangunan mess TNI yang baru. Puas main dan berkeringat, anak saya mandi lagi. Setelah itu saya membacakan cerita Thomas & Friends sambil ia sibuk membuat kereta api yang begitu panjang dari Lego. Saat tulisan ini dibuat, ia asyik bermimpi di pulau kapuk.
Di sela-sela family time itu saya disibukkan juga oleh WhatsApp group kantor yang tak berhenti berkicau karena ada problem dadakan ini dan itu (saya sebenarnya pengen curhat colongan di sini, tapi tidak baik.) Beruntung, anak saya tidak protes dan saya masih bisa memberinya perhatian. Ia tidak berusaha merebut hp yang terpaksa saya pegang (saya sebenarnya benci sekali kalau pegang hp saat main sama anak) karena ia tidak suka gadget, sukanya excavator dan backhoe loader.
Memasak bukan barang langka buat saya sebagai pria. Almarhum ayah adalah tukang masak yang hebat. Bahkan mertua kakak saya, seorang pendeta tentara Jawa, sangat mahir memasak makanan dari segala penjuru nusantara. Salah satu acara favorit kami adalah Master Chef. Coba tebak, siapa yang membuat MPASI ketika anak saya mulai belajar makan?
Setelah badai di WhatsApp mereda, saya mulai berpikir... Ketika makan siang kemarin, teman-teman kantor saya yang wanita asyik membahas soal belanja dan diskon, dan salah satunya menyinggung suaminya yang kurang "support". Pikiran saya melayang lagi ketika mereka juga membahas suami mereka yang tidak becus dalam urusan rumah tangga. (Selidik punya selidik, beberapa kelompok dalam masyarakat Tionghoa yang masih kolot mengharamkan suami masuk dapur karena bisa mengancam kelancaran nafkah. Akibatnya anak lelaki mereka pun dididik demikian.)
Segala macam mitos miring tentang lelaki sudah pernah mereka bahas. Tetapi pikiran saya kembali ke masa yang lebih jauh. Teman-teman saya mengobrol soal pengganti Steve Jobs yang mengaku gay. Mereka berpendapat, justru karena gay ia dipilih: mampu menggabungkan yang terbaik dari kedua gender.
Dan saat itu tiba-tiba terbersit di otak saya: apakah karena saya mampu multitasking - suatu keahlian yang sangat diagungkan sebagai kodrat wanita dan begitu menyedihkan ketika dicoba ditiru pria - maka saya adalah gay?
Terlepas dari kenyataan bahwa saya tidak tertarik secara seksual pada pria, mengerling pada wanita cantik dan selalu horny ketika istri saya perlahan-lahan mengurangi jumlah benang yang menempel pada tubuhnya, dan ujung-ujungnya adalah bocah yang mendengkur di sebelah saya, saya tetap saja gay? (Atau setidaknya bisexual?)
Apakah karena saya memiliki kemampuan yang - menurut psikologi populer - secara natural adalah milik wanita, maka saya memiliki gen gay/bisexual dalam diri saya?
Apakah pernikahan saya, bahkan usaha saya mengejar wanita (walau seringkali tanpa hasil) selama masa remaja adalah upaya saya untuk menutupi dan menekan (inggris: to suppress) gen gay saya supaya tidak keluar? Atau meminjam istilah hak-hak LGBT: mengingkari kodrat dalam kurungan (closet)?
Apakah tindakan saya selama ini telah menentang kodrat dan bahkan menghina kaum LGBT? Sebuah sikap homophobia yang dilakukan dengan mengekang diri sendiri? Apakah seharusnya saya buka-bukaan (coming out) tentang seksualitas saya?