Praktiknya tidak setiap selamat bisa diucapkan dengan selamat. Walau ucapan itu berakibat suka atau duka, marah atau lega. Dan akhir-akhir ini ada ucapan selamat yang sebenarnya selalu terulang, tetapi menurut pendapat dari tokoh panutan umat berkategori tidak menyelamatkan, bahkan mendatangkan bukan pahala tapi dosa. Tentu saja ada yang berpendapat sebaliknya, ini biasa.
Tapi memang kalau cuma basa-basi tradisi, tidak menyentuh hati. Sepertinya hanya dilakukan agar tak ada yang dibuat marah, dipojokkan oleh stigma. Inilah hasil dari kungkungan semacam sindroma kepecundangan. Yang menjadikan bertoleransi antar umat bagaikan sebuah gambar, sebuah hasil jepretan kamera dijital yang nurut saja diperlakukan, di’copy-paste’, di’upload’ kapan saja sesuai kebutuhan yang lebih menguntungkan.
Sehingga ucapan selamat yang tampil ada yang mendominasi ruang publik, ada yang tidak. Dan diarahkan sebagai pencitraan pribadi-pribadi yang tidak menggerahkan masyarakat. Sebab, terkadang dalam kondisi teralineasi, maka sekecil apapun yang namanya kepedulian, bagi saya bermakna agung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H