Pemerintahan kita ini boleh saja dipimpin oleh siapapun, asalkan persoalan guru swasta ditangani oleh pejabat publik yang berjiwa pejuang dan adil dalam mengupayakan kesejahteraan rakyatnya, maka dijamin keprofesian guru swasta pun akan mendapat penghargaan yang signifikan.
Pemimpin itu mesti mampu mendatangkan penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Terutama jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Sehingga dengan demikian, dapat memikirkan dan sekaligus merealisasikan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum yang mencerminkan martabat guru sebagai pendidik profesional.
Kelihatannya hal itu mulai diperhatikan pemerintah dan DPR RI. Secara bergelombang, berulangkali beberapa elemen guru non pegawai negeri sipil menuntut agar guru swasta juga diberi hak lewat jalan pintas ketika mereka menginginkan perubahan status menjadi pegawai negeri sipil.
Yang paling akhir, 14 Februari 2010 lalu, FKTHSN Sumut berhasil mendesakkan tuntutannya, dan menelorkan tiga cara seleksi CPNS di 2010. Pertama, tes sebagaimana biasa, kemudian jalur diangkat langsung dengan senjata PP 48/2005 dan PP 43/2007, serta yang ketiga belum jelas benar, yaitu seleksi sesama tenaga honorer karena PP-nya belum diterbitkan.
Di sisi lain, tidak sedikit yang pasrah. Kepasrahan guru swasta ini pasti bisa berakibat mereka harus makin bertekuk-lutut di depan atasannya secara yuridis formal, setelah menandatangani Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama sesuai UU BHP.
Namun, kalau mereka tidak mau pasrah dan berani melawan, sebaiknya berpikir juga jika PHK ditimpakan. Mencari dan memulai pekerjaan di tempat lain belum tentu lebih menjanjikan kondisinya, meskipun Anda paham, bahwa nasib seseorang ditentukan oleh kemauan orang itu sendiri untuk merubahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H