Masak sih setiap ada guru swasta yang berani mempersoalkan kesejahteraannya langsung dicap sebagai guru yang tidak amanah, tidak punya niat beribadah dengan profesinya itu. Memang ini tidak dialami oleh semua guru swasta, tetapi setidak-tidaknya bagi mereka termasuk saya, ketika berkesempatan menyuarakan uneg-uneg bahkan hanya di fesbuk saja sudah diserang, yang katanya suka mengeluhlah, materialistislah dsb. Salah melulu lah.
Penyerang pendapat-pendapat kami adalah mereka yang memang sangat idealis dan sangat baik sebagai orang sekaligus guru swasta. Pada pokoknya mereka menghendaki guru swasta jangan sampai mengeluarkan kata-kata bernada keluhan apalagi keberatan terhadap penghasilannya walau berapapun nilai penghargaan atas jasanya mengajar itu. Apalagi sampai berani memrotes pimpinan. Jadi, intinya kalau mau dibegitukan terus ya terima apa adanya, kalau tidak berkenan, ya silahkan cabut dari yayasan atau sekolah. Nah, lu !!
Oleh karena itu diberikan solusi menang-menang, yaitu menandai para guru swasta juga dengan sebutan professional bersertifikat pendidik, sehingga berhak menerima jutaan rupiah perbulan sebagai tunjangan profesi pendidik.
Dengan demikian, mereka yang mengeluh itu pastilah belum professional. Tak apalah dituduh begini ini. Tapi bagaimana dengan mereka yang masih juga tidak berhenti mengomel dengan ruwetnya pencairan tunjangan profesi pendidik? Masih relevankah?
Ah, seandainya rasionalnya dibalik juga terjadi ketakpasan kok. Anda tahu kan guru PNS? Penghasilan mereka jauh melambung tinggi meninggalkan rekan-rekannya yang guru swasta, tetapi apakah kualitasnya signifikan dengan kesejahteraannya?
Hayo, siapa kambing hitamnya?!
Ponorogo, 13 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H