Menjelang Pemilu 2014 sejumlah kerawanan masih mewarnai di beberapa daerah. Berdasarkan teori tentang kerawanan (vulnerability) ada tiga jenis kerawanan yaitu low intensity vulnerability, middle intensity vulnerability dan high intensity vulnerability. Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2014 masih dalam taraf low intensity vulnerability dan middle intensity vulnerability.
Low intensity vulnerability seperti, masih adanya DPT bermasalah, pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye, distribusi logistik Pemilu, dana kampanye belum dilaporkan oleh semua parpol, belum lengkapnya anggota KPU di beberapa daerah, belum terbentuknya relawan demokrasi dan netralitas PNS. Middle intensity vulnerability, seperti gugatan judicial review Yusril Ihza Mahendra yang sebaiknya ditunda Mahkamah Konstitusi (MK) dan disertai kebijaksanaan Yusril dalam menyikapinya atau seperti langkah sejumlah kelompok kepentingan yang terus intensif mengikuti dan mengawal bahkan mengkritisi kinerja penyelenggara Pemilu bahkan adanya indikasi menggagalkan Pemilu 2014. Sebenarnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melakukan studi terkait pelaksanaan Pemilu serentak. Namun, hasil studi LIPI tersebut menganjurkan agar hasil penelitiannya digunakan pada Pemilu 2019 karena berpotensi mengganggu jalannya Pemilu 2014. Dikategorikan middle intensity vulnerability karena menggunakan mekanisme hukum yang berlaku. Namun diperkirakan kurang mendapatkan dukungan dari rakyat karena masyarakat menginginkan Pemilu 2014 yang lancar, aman dan jurdil dengan tingkat golput yang semakin menurun.
Sementara itu, high intensity vulnerability seperti ancaman teror, kelompok separatis ataupun gerakan radikal belum menunjukkan intensitas dan intention (niat) mereka untuk menganggu pelaksanaan Pemilu 2014. Meskipun demikian, kemungkinan ini masih cukup berpotensi terutama ancaman teror. Salah satunya Lone wolf alias srigala tunggal. Istilah ini untuk menyebut pelaku teror tunggal yang tidak terikat dengan sebuah kelompok. Ancaman lainnya adalah gerakan-gerakan radikal yang diejawantahkan melalui kasus-kasus sengketa lahan yang terjadi di beberapa daerah ataupun aksi unjuk rasa yang “sopan” namun mengganggu kepentingan orang banyak. Baik gerakan radikal kiri ataupun radikal kanan, sekarang ini sama-sama menggunakan taktik “sel phantom”.
Menurut Ulius Louis Amoss (1960) sebagai intelijen AS menghadapi ancaman komunisme di negaranya menemukan struktur sel phantom yaitu sistem organisasi berbasis sel, tapi tidak mempunyai jalur kontrol atau perintah yang terpusat. Struktur sel phantom terus bermutasi dalam jaringan terorisme terjadi karena faktor eksternal dan internal. Faktor internal karena sifat gerakan ini adalah klandestin dan tandzimsirri (organisasi rahasia). Rasa curiga antar anggota dan ketakutan adanya penyusupan menjadi dinamika tidak terpisahkan dari gerakan terorisme.
Meskipun demikian, mayoritas masyarakat Indonesia percaya ideologi Pancasila adalah ideologi paling tepat bagi bangsa ini, bahkan negara-negara Timur Tengah yang sering mengalami konflik sektarian sering ke Indonesia untuk mempertanyakan apakah demokrasi Pancasila dapat diterapkan di negaranya. Intisari demokrasi Pancasila adalah menghormati hak dan kewajiban serta saling tenggang rasa dan mengutamakan musyawarah bukan konflik dalam menyelesaikan masalah, maka demokrasi model ini dapat diterapkan di negara manapun. Oleh karena itu, dengan semangat demokrasi Pancasila dan mengedepankan pencapaian tujuan dan kepentingan nasional, maka kerawanan, ancaman, hambatan, gangguan ataupun tantangan dalam pelaksanaan Pemilu 2014 akan dapat diatasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H